Oleh: Hasin
Abdullah*
Di
tengah krisis penegakkan hukum (law enforcement) praktik korupsi kerap terjadi
di lingkaran kekuasaan, hingga masalah korupsi ini tak kunjung usai dan tak ada
habisnya. Yang paling hangat adalah kasus korupsi periode 2016, mulai kasus
gratifikasi, eksploitasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum telah menggurita
di negeri ini.
Fakta
hukumnya dapat kita lihat di berbagai kalangan pejabat, petinggi negara yang kerap
dijadikan dakwaan dan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini mengindikasikan Indonesia sebagai negara
hukum (state of law) belum mampu melenyapkan predator uang rakyat.
Korupsi
pada umumnya, ibarat setajam tombak yang tak pernah tumpul, dalam arti tiada
hentinya korupsi dan tanpa ada efek jera. Jika melihat Undang-Undang Konstitusi
kita Pasal 1 ayat 3 berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”, istilah
pasal negara hukum apabila ditafsirkan secara legal structure negara memiliki beberapa lembaga penegakan hukum
yang mampu menuntaskan perkaranya. Pertama, Kejaksaan. Kedua, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiga, Polri. Dalam struktur penegakan hukum
ketiganya merupakan lembaga tangguh yang mempunyai tugas wajib untuk melakukan
amputasi mengenai perkara korupsi.
Praktik
korupsi dapat merusak moralitas demokrasi yang kini makin melemah, padahal secara
karakteristik moral sangatlah berkorelasi dengan aspek sikap yang muncul dalam
diri manusia. Terutama petinggi negara (khalifah ad-dawli), kenapa perihal ini menjadi
sumbu persoalan utama. Pasalnya, perkara korupsi bagian dari oknum pesimisme
hukum yang tidak melihat aturan perundang-undangan
meski dirinya adalah seseorang yang membuat regulasi kehidupan bangsa dan
negara. Konteks ini, tak lampau jauh dengan pemegang kekuasaan, dan pejabat.
Munculah
seputar pertanyaan mendasar. Mengapa hal ini terus terjadi? Apakah kasus-kasus
tersebut hanya sebagian kecil dari maraknya kasus korupsi di Indonesia?
Pada
hakikatnya, korupsi tak sekedar dianggap tindak kejahatan yang merusak tatanan
negara, tetapi menghambat kemajuan dan pemerataan ekonomi nasional. Indonesia di
tengah ironisnya moral banyak kalangan pejabat, petinggi Negara, pemegang
kekuasaan yang diberikan amanah yang berlimpahan. Namun feedbacknya, tanggung jawab itu dirobohkan. Merusak tanggung jawab
Negara sama dengan tidak menjaga hasil kepercayaaan yang dilimpahkan oleh
rakyat. Hal seperti ini yang menjadi komentar global “kebejatan pemimpin” yang sekedar
mempunyai bakat secara individualistik menghianati sumpahnya.
Konteks
korupsi, bisa dibilang sudah mendarah daging dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Hal ini sangat tragis di
mana aksi pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Orde
Lama, namun hingga kini terus berulang-belum dapat terselesaikan dengan tuntas.
Padahal setiap agama melarang keras menyoal korupsi.
Rezim
Hukum Menipis
Pasca
melemahnya rezim penegakkan hukum (law enforcement), dapat menyita sejumlah
kekecewaan masyarakat global yang kian karena faktor institusi hukum belum bisa
mengoptimalisasikan mekanisme pencegahan dan pemberantasan korupsi. Salah
satunya karena mayoritas penegak hukum yang mudah tertunggangi oleh sikap pragmatisme.
Di satu sisi, terkadang nafsu aparat pada perilaku koruptif di Indonesia belum
mampu membasmi habis para koruptor yang menggerogoti harta negara. Realitasnya,
beberapa kasus belakangan ini ada keterlibatan aparat hukum alias “mafia”. Dengan
mendengarnya tentu pemerintah harus bersikap tegas mengenai hal ini, lantas siapa
yang harus kita percayai.
Hal
yang sangat menarik ialah seringnya kita simak pemberitaan di media massa bahwa
para pencuri kelas bawah dengan mudahnya tertangkap dan dimasukkan ke dalam
penjara. Namun, bagaimana dengan para pencuri kelas elit ini, yang jelas-jelas
merugikan bangsa dan negara? Yang menjadi kendala besar dalam upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia adalah terlalu banyaknya orang yang akan
terancam pidana jika undang-undang pemberantasan korupsi dijalankan secara sungguh-sungguh.
Di antara mereka dapat dipastikan akan terjadi saling tuding-menuding siapa
yang menyidik siapa.
Membenahi
Sistem
Sebagai
salah satu langkah untuk membuat efek jera para koruptor dan calon koruptor,
wacana mengenai pemiskinan koruptor harus didukung. Para koruptor harus
dimiskinkan dalam arti semua kekayaan yang mereka miliki dari hasil korupsi
adalah hak negara sehingga negara wajib menyita semua kekayaan mereka. Sebagai
seorang warga negara yang baik, sudah seharusnya kita mendukung wacana
tersebut, malah apabila kita tidak mendukung berarti kita tidak peduli pada
program pemberantasan korupsi.
Harus
mewujudkan pemulihan khusus negeri ini untuk lebih gencar menumpas pelaku
korupsi yang sudah dihukum masih bergelimang harta. Hal ini dikarenakan harta
hasil korupsi tersebut tidak dilakukan penyitaan dan perampasan. Oleh,
karenanya, perlu adanya niat dan ketegasan dari pemerintah dalam upaya
memberantas korupsi di Indonesia.
Tak seolah-olah
munculnya undang-undang dan lembaga penegakkan hukum tidaklah cenderung kritis
soal kasus tersebut. Namun di satu sisi, memiliki tujuan utama dalam
memiskinkan koruptor adalah untuk menimbulkan efek jera agar tindakan ini tidak
diulangi lagi.
Jangan
sampai ada anggapan bahwa upaya pemiskinan koruptor ini merupakan suatu bentuk
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terkait dengan nasib dari keluarga koruptor
tersebut. Pemikiran ini adalah sesuatu yang dibesar-besarkan. Tidakkah mereka
berpikir bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh seorang koruptor tidak
hanya memiskinkan satu keluarga saja, bahkan dapat memiskinkan seluruh rakyat
Indonesia?
Alhasil, dengan pasca runtuhnya orde baru sangat
menyokong upaya lembaga penegakkan hukum lebih kuat. Selain bisa mencapai
keadilan (Al-‘adlu) dan bisa
memberikan jaminan kehidupan masyarakat yang sejahtera (welfare society), semoga dengan
munculnya wacana pemiskinan koruptor membuat persoalan korupsi di Indonesia
segera terselesaikan dengan cepat. Ini demi terciptanya keadilan sosial serta
kemakmuran bagi masyarakat Indonesia, bukan hanya tergantung pada segelintir
orang namun seluruhnya sehingga negara dapat teramankan oleh berbagai
tindakan-tindakan pidana. Wabilkhusus, yang menghambat kemajuan perekonomian
nasional, membutuhkan perangai yang kuat lewat aktifitas sekolah antikorupsi,
dan membenahi moral. Kedua prinsip ini sangat berdominasi untuk menata masa
depan Negara hukum kita sehingga teruslah disosialisasikan. *) Penulis
Adalah Koordinator Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi-RI (GNPK-RI)
0 Komentar