Forum Pembela Rakyat (Forpera). |
BEKASI, KORANTRANSAKSI.com – Kasus penggusuran warga Pekayon Jaya, Bekasi Selatan
oleh Pemerintah Kota Bekasi memanas. Eksekusi pembongkaran yang dilakukan pada Senin
(1/11/2016) itu, menuai kritik dari berbagai kalangan. Pasalnya penggusuran sebanyak
174 bangunan yang berdiri diatas saluran kali Pekayon Jaya ini, dilakukan tanpa
ada pemberitahuan terlebih dahulu bahkan terkesan mendadak dan tidak ada ajakan
bermusyawarah.
Menanggapi hal tersebut, elemen mahasiswa Bekasi yang mengatasnamankan
dirinya Forum Pembela Rakyat (Forpera) mendesak DPRD Kota Bekasi segera
membentuk pansus penggusuran Pekayon Jaya. Forpera Kota Bekasi pun bersatu, mereka menuding Walikota
Bekasi Rahmat Effendi menjadi akar masalah dan penderitaan rakyat korban
gusuran warga pekayon hingga saat ini.
Kordinator Forpera Zaenudin mengatakan, tindakan
Dinas Tatakota Pemerintah Kota Bekasi, Senin (21/11)
lalu, menggusur rumah warga tanpa
mempertimbangkan aspek psikologis warga korban gusuran. “Dilihat
dari sisi kemanusiaan, ini menjadi potret buram penguasa terhadap Hak Asasi
Manusia masyarakat korban gusuran,” ujarnya.
"Hilangnya hati nurani yang
berkeadilan dan beradab bagi masyarakat sesuai dengan Idiologi Pancasila
membuat mata warga terbelalak betapa kerasnya cambuk kekuasaan Pemerintah Kota
Bekasi yang lebih mengutamakan kedikdayaan penguasa yang lupa amanah dengan UUD
1945 terhadap rakyat,” ketusnya.
Dia juga menyayangkan Penyalah gunaan alat
negara Satpol PP, TNI/Polri sehingga mengorbankan rakyat sipil yang
jelas dilindungi. Pasal 28 C ayat (1) UUD
1945, tidak lagi menjadi tumpuan kebijakan penguasa Kota
Bekasi.
“Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan,” tegas Zaenudin.
Menurut Zaenudin
sikap dan tindakan pemerintah tidak menunjukkan sebagai pejabat negara yang digaji dengan uang
rakyat. “Tapi kenapa
menjadi momok mengerikan bagi rakyat itu sendiri. Hingga saat korban
gusuran harus terlantar karena rumahnya digusur,” tandasnya.
Langgar HAM
Kordinator Pemuda Demokrat Farid
menyinggung, penggusuran tanpa adanya musyawarah
warga sama saja masuk dalam pelanggaran HAM yang tidak bisa ditolelir lagi
dewasa ini. Seharusnya sebagai pejabat negara selaku pelaksana
kebijakan, lebih mengedepankan hak-hak warga untuk
permusyawaratan dan mufakat sesuai dengan sila ke IV.
"Perlindungan atas hak dasar
merupakan kewajiban bagi setiap individu, dan setiap lembaga Negara yang ada di
setiap tingkatan. Kewajiban ini menjadi tanggung jawab kemanusiaan yang
harus terus dijunjung tinggi dimanapun di bumi nusantara ini, tanpa kecuali di
Kota Bekasi oleh pejabat negara,” singgungnya.
Farid juga menerangkan bahwa gencarnya penggusuran di Kota Bekasi namun
implementasinya sangat jauh dari peri kemanusiaan. Pelaksanaan
penggusuran di lapangan selama ini
lebih dominan dilakukan secara paksa, sporadis dan bar-bar merupakan
tindakan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan.
"Alpanya Pemkot Bekasi bagi warga
korban gusuran sudah menjadi tradisi kepemimpinan Walikota Bekasi Rahmat
Effendi. Sadar atau tidak sadar pejabat Pemkot Bekasi telah
melanggar aturan undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria. Yang pada akhirnya Simarhaen (Rakyat) menjadi korbannya," sindirnya.
Menurutnya, berdasarkan Pasal
9 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 jelas menyebutkan, “Tiap-tiap warga
negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama
untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta mendapat manfaat dari
hasilnya baik bagi diri sendiri dan
keluarganya.”
“Artinya
merujuk pasal pada undang-undang dimaksud, penggusuran yang dilakukan Pemkot Bekasi
keliru dan melanggar hukum,” imbuhnya.
Kordinator HMI Bekasi Zulhan, menambahkan
selain pasal 9 ayat 2, penggusuran juga menabrak ketentuan mengenai hak guna
bangun dan hak pakai yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960.
"Merujuk ketentuan tersebut, maka
Pemkot Bekasi tidak bisa seenaknya menggusur warga yang mendiami tanah negara
miliki Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sebab hanya Kementerian PUPR saja
yang kemudian bisa mencabut hak guna bangun dan hak pakai warga," tandasnya.
Dia juga sependapat dengan teman aktivis Forpera, yang menyatakan bahwa segala bentuk
penindasan harus segera dihentikan dan dicarikan solusi yang arif dan
mengedepankan rasa kemanusiaan. Sejalan dengan
perjuangan teman-teman aktivis dia juga mengemukanan, agar
proses pembentukan pansus yang tertunda oleh wakil rakyat bisa lebih
ditingkatkan lagi loby-loby fraksi di DPRD.
0 Komentar