Kabid Hubla & LI Farid Wajdi berdiskusi dengan media terkait RUU Jabatan Hakim, beberapa waktu lalu. |
Apabila hingga
tahun 2020 tidak ada rekrutmen calon hakim, maka jumlah hakim tingkat pertama
akan menyusut drastis menjadi 2.851 orang.
Jakarta, Trans – Apabila
pengurangan usia pensiun hakim/hakim tinggi/hakim agung dalam RUU Jabatan Hakim
disetujui, Mahkamah Agung (MA) memperkirakan kinerja lembaga
peradilan bakal lumpuh pada tahun 2020. Sebab,
hakim dari berbagai tingkat peradilan tersebut seketika akan pensiun atau tidak
lama lagi memasuki masa pensiun. Apalagi, saat ini sudah 6 tahun tidak ada
rekrutmen calon hakim sejak profesi ini menyandang status pejabat negara.
“Jika pengurangan usia pensiun hakim
dalam RUU Jabatan Hakim diberlakukan lembaga peradilan diprediksi akan ‘lumpuh’
pada tahun 2020,” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur, Jumat
(4/11/2016).
Ridwan Mansyur mengutip
data Direktorat Jenderal Peradilan Umum (Ditjen Badilum MA) jumlah hakim
tingkat pertama di 352 pengadilan negeri seluruh Indonesia hingga tahun 2016
adalah 3.146 orang. Adapun rata-rata jumlah perkara yang harus diselesaikan
pengadilan tingkat pertama di luar perkara pelanggaran lalu lintas sekitar
184.050 perkara per tahun.
Berdasarkan perhitungan beban
penyelesaian perkara oleh Ditjen Badilum MA, jumlah hakim yang ideal di
pengadilan tingkat pertama sekitar 4.711 orang. Karena itu, kondisi saat ini
masih kekurangan sekitar 1.565 orang hakim.
Menurutnya, apabila hingga tahun 2020
tidak ada rekrutmen calon hakim, maka jumlah hakim tingkat pertama akan menyusut
drastis menjadi 2.851 orang. “Jadi, pengadilan tingkat pertama di lingkungan
peradilan umum bakal kekurangan hakim sebanyak 1.860 orang di tahun 2020. Ini belum lagi ditambah kekurangan hakim di
lingkungan peradilan agama, TUN dan militer karena sudah bertahun-tahun tidak
ada rekrutmen calon hakim,” terangnya.
Sebelumnya, Juru Bicara MA Suhadi
menyatakan keberatan mengenai penurunan usia pensiun hakim/hakim tinggi/hakim
agung dan periodeisasi lima tahun masa jabatan hakim agung, seperti termuat
dalam Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 31 RUU Jabatan Hakim. Dia beralasan dua
aturan itu bisa mengganggu pelaksanaan tugas peradilan dan berdampak kekurangan
hakim semua tingkatan.
“Awalnya, saat IKAHI dan MA memberi
masukan draft RUU Jabatan Hakim di Baleg, tidak ada pembahasan mengenai hal
ini. Tetapi, tiba-tiba RUU Jabatan Hakim ini muncul pengurangan usia pensiun
hakim dan kocok ulang setiap lima tahun bagi hakim agung. Ini timbul gejolak
dan keresahan di kalangan para hakim dan para hakim agung,” kata Suhadi beberapa
waktu lalu.
Menurutnya, pengurangan usia pensiun
hakim di berbagai tingkatan ini akan berdampak semakin berkurangnya tenaga
hakim, hakim tinggi, dan hakim agung. “Kalau ini disahkan menghambat regenerasi
hakim karena separuh hakim agung yang ada sekarang ‘habis’ (langsung seketika
pensiun, red) termasuk hakim tinggi. Apalagi, hakim tingkat pertama yang sudah
6 tahun ini tidak ada rekrutmen,” keluhnya.
Karenanya, MA mendesak Presiden untuk
memperjelas pelaksanaan rekrutmen calon hakim berikut payung hukumnya. Dia
mengeluhkan sikap Kemenpan dan RB, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian
Keuangan yang hingga kini belum merespon permintaan MA untuk segera
melaksanakan rekrutmen calon hakim. Mereka ‘angkat tangan’ dengan dalih merasa
bukan kewenangannya karena hakim bukan PNS/ASN lagi. “Sampai
kita perjuangkan ke Sekretariat Negara hingga Presiden, tetapi Presiden
menugaskan Menpan lagi untuk mencari jalan keluarnya, tetapi sampai sekarang
tidak jelas,” ujarnya.
Pasal 31 RUU Jabatan Hakim menyebutkan hakim
agung memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat ditetapkan kembali setiap 5
tahun berikutnya setelah melalui evaluasi yang dilakukan Komisi Yudisial.
Nantinya, hasil evaluasi KY disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan. Selain itu, Pasal 51 ayat (2) RUU Jabatan Hakim menyebutkan
pemberhentian hakim secara hormat atau pensiun ketika memasuki usia 60 tahun.
Sementara untuk hakim tinggi memasuki usia 63 tahun dan hakim agung memasuki
usia 65 tahun.
Perkara
Menumpuk
Sementara itu, Hakim
agung I Gusti Agung Sumanantha menyatakan keberatan jika diterapkan pensiun
dini di semua tingkat peradilan. Menurutnya, hal tersebut akan menimbulkan
darurat kekurangan hakim. Sehingga
terjadi kesenjangan antara beban kerja dengan jumlah perkara dan jumlah hakim.
"Misalnya jika usia pensiun hakim
agung menjadi 65 tahun, akan mengurangi kemampuan MA dalam memutus dan
menyelesaikan perkara yang jumlahnya puluhan ribu. Padahal MA dalam tiga tahun
terakhir menunjukkan prestasi tertinggi dalam sejarah penyelesaian perkara,"
kata Agung di Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Agung juga mengatakan bahwa kondisi yang
dialami MA tidak dilakukan rekrutmen hakim dikarenakan hambatan teknis. Dia
juga menambahkan saat ini telah terjadi kekosongan rekrutmen hakim tingkat
pertama selama enam tahun berturut-turut. "Jika rekrutmen dilakukan tahun depan maka akan
terjadi kekosongan tujuh tahun ditambah dua tahun yang diperlukan untuk melatih
mereka menjadi hakim yang siap pakai," jelas Agung.
Agung juga menanggapi mengenai perekrutan
calon hakim dari kalangan profesional, advokat, jaksa, polisi, mediator,
notaris, dan arbiter yang telah berpengalaman selama lima tahun merupakan hal
yang baru secara konseptual. Dia mengatakan terdapat dua sistem besar dalam
rekrutmen calon hakim, yaitu dari fresh graduate dan rekrutmen dari profesional
hukum.
"Maka dari itu perlu
dipertimbangkan lagi dan perlu didukung dengan hasil kajian yang cukup matang
dan sesuai dengan struktur dan budaya hukum di Indonesia. Pengalaman MA saat
mengadakan seleksi hakim ad hoc dari profesional mengalami kesulitan saat
pembentukan kompetensi," jelas Agung.
Agung mengatakan pengurangan usia
pensiun hakim bertentangan dengan nilai universal yang ada di seluruh dunia. "Sesungguhnya
usia pensiun bagi hakim di seluruh dunia adalah yang tertua. Kenapa? Karena
profesi hakim pengalaman sangat menentukan kematangan seseorang menjadi
hakim," pungkas Agung. (SN)
0 Komentar