Berbicara ada etikanya. Ilustrasi. |
JAKARTA,
KORANTRANSAKSI.com -
Kegaduhan seringkali mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika hal itu
dilakukan di dalam forum musyawarah maka sah-sah saja, dan mengindikasikan
hidupnya suasana musyawarah. Akan tetapi, jika kegaduhan itu dilakukan di luar
musyawarah --apalagi di ranah publik-- hal itu tidak hanya dapat menimbulkan
fitnah dan ghibah, pun dapat merusak tatanan kahidupan berbangsa.
Kegaduhan biasanya terjadi karena
ketidaksabaran seseorang dalam menjaga lidah. Tanda kematangan kepribadian
seseorang ketika bisa meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat, termasuk
dalam menjaga lidah. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: “Rasululah SAW bersabda,
“Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang
tidak bermanfaat baginya.” (HR Tirmidzi).
Sebab, membiarkan lidah dari banyak
berucap yang tidak membawa manfaat hanya akan membuang-buang waktu, padahal
ajal selalu mengintai dirinya. Karena itu, Islam memberikan tuntunan dalam
mengelola lidah agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan.
DR Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyidin
Mistu dalam kitabnya Al-Wafi Fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah menjelaskan, etika
seorang Mukmin dalam mengelola lidah. Pertama, berusaha membicarakan hal yang
mendatangkan manfaat, dan tidak membicarakan hal yang tidak diperbolehkan.
Akibat dari ketidakmampuan mengelola lidah adalah ghibah, namimah, menuduh,
mencela orang lain, dan lain sebagainya.
Kedua, tidak banyak berbicara.
Rasulullah SAW bersabda, ”Janganlah kalian banyak bicara, yang bukan dzikir
kepada Allah. Karena banyak bicara, yang bukan dzikir kepada Allah, akan
membuat hati keras. Dan manusia yang paling jauh dari Tuhannya adalah yang
hatinya keras.” (HR Tirmidzi).
Ketiga, wajib berbicara ketika
diperlukan, terutama untuk menjelaskan kebenaran dan amar makruf nahi munkar.
Ini adalah sikap mulia yang jika ditinggalkan termasuk pelanggaran dan berdosa.
Sebab, orang yang mendiamkan kebenaran pada dasarnya adalah setan bisu.
0 Komentar