Ilustrasi. |
Oleh:
H.M. Soewarso*
KENDATIPUN bukan
peristiwa baru, temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
bahwa sedikitnya ada 10 PNS muda memiliki rekening miliaran rupiah menjadi bahan
omongan menarik disaat seluruh lapisan masyarakat kini menaruh rasa benci dan
sakit hati dengan kenyataan di luar nalar dan logika. Yang membuat terperanjat,
dari 10 PNS muda ini ada dua PNS golongan III B yang diduga 'menilap' uang
negara miliaran rupiah dari sebuah proyek fiktif. Keduanya ditengarai mentransfer
uang ke rekening istri. Sementara istri-istri mereka sibuk mencuci uang yang
diduga hasil korupsi itu dengan membeli valuta asing, emas, dan asuransi.
Ini tidak masuk
akal karena rekening PNS muda tersebut jauh dari gaji dan pendapatan resminya
sebagai PNS bergolongan III. Apa yang menjadi temuan PPATK ini menjadi bukti bahwa
reformasi birokrasi tidak menyentuh lembaga dan para pejabat PNS-nya. Bahkan scenario
membobol uang Negara dan pemasukan pajak yang merupakan setoran rakyat semakin
canggih, sistematis dan massif.
Contoh nyata pada
kasus Gayus Tambunan dan rekan-rekan sekantornya, memberikan bukti pada kita
semua. Begitu pula pada pelaku-pelaku korupsi di lembaga lain, termasuk apa
yang dilakukan sederetan manusia terhormat berjuluk “wakil rakyat” (entah
rakyat mana yang diwakili). Kendati dilakukan terobosan-terobosan sistemik
untuk mencegah meluasnya budaya korupsi, tetap saja KPK kewalahan dan
terus-menerus menangkapi para koruptor yang muncul silih-berganti.
Bahkan ketika Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) masih dijabat oleh Mahfud MD, beliau meminta agar PPATK
tidak mengungkapkan data samar-samar kepada publik seperti data tentang PNS
golongan III B yang memiliki rekening miliaran rupiah. Lembaga ini disarankan
untuk melaporkan data mencurigakan yang ditemukan kepada penyidik KPK atau
penegak hukum lainnya.
Sudah menjadi
rahasia umum, bahwa di tengah carut marutnya krisis finansial ekonomi yang
melanda beberapa negara beberapa tahun belakangan ini khususnya di Indonesia,
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah pilihan pekerjaan yang menggiurkan dan
menjanjikan bagi berbagai kalangan masyarakat dengan tingkat pendidikan
masing-masing. Selain adanya jaminan di hari tua, menjadi PNS juga bisa
menguatkan identitas atau kelas sebuah keluarga di tengah masyarakat. Yang tak
kalah pentingnya, dengan pekerjaan sebagai PNS, seseorang dipersepsikan masuk
dalam zona pekerjaan yang Anti-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Dengan
Sosio-Kultural PNS semacam ini maka tak heran peminat pekerjaan CPNS tiap tahun
selalu mengalami peningkatan jumlah peminat atau pelamarnya.
Muncul persoalan
menyangkut keterbatasan quota dengan jumlah peminat yang berusaha dengan
berbagai cara ingin meraihnya. Fakta dengan sedikitnya jatah kursi yang
terbatas itu mulailah terbuka celah-celah 'permainan' dalam penerimaan CPNS.
Terlebih regulasi penerimaan CPNS kita dalam lingkup Undang-Undang No. 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah Bab Kepegawaian Daerah membuka ruang
'kekuasaan' yang lebar potensi terjadinya 'permainan' dalam penerimaan CPNS.
Tak heran momentum ini dimanfaatkan banyak pihak
termasuk calo-calo CPNS yang bergentayangan dengan tarif Rp40 juta sampai Rp80
juta.
Begitu CPNS itu
dinyatakan lulus dan menjadi PNS, disinilah terjadi beragam pilihan-pilihan PNS
Muda terhadap realitas dunia kerjanya. Bila realitas tempat kerja PNS muda
tersebut profesional, berintegritas, dan berdisiplin dalam kinerja mungkin
tidak ada masalah yang berarti bagi PNS muda tersebut. Namun tak jarang,
setelah menapaki hari demi hari, minggu ke minggu hingga bulan berikutnya, PNS
muda ini mulai menemui realitas birokrasi yang sangat ia kritik saat menjadi
mahasiswa. PNS Muda ini dihadapkan pada fakta, ada sejumlah orang yang tidak
melakukan korupsi disaat yang sama sebagiannya melakukan korupsi.
Memang ada
sejumlah PNS yang tidak melakukan korupsi sementara sejumlah PNS lain melakukan
korupsi. Dalam kaitan ini beberapa filosofi dasar tentang etika moral dan
desakan kebutuhan menemui sasarannya. Merujuk pada kemampuan PNS Muda ada yang menginternalisasikan
norma-norma dan pikiran tokoh panutannya di masyarakat untuk kemudian tidak
melakukan tindakan korupsi. Komitmen moral merujuk, bagaimana PNS Muda ini
menjadikan posisinya sebagai abdi negara dimana waktu, tenaga dan pikirannya benar-benar
didedikasikan untuk memperoleh reputasi di masyarakat.
Salah satu
aspeknya pada bagaimana PNS Muda ini disibukkan dalam berbagai
tugas rutinnya sehingga tidak terlintas dalam pikirannnya melakukan perbuatan
korupsi. Sementara aspek lain merujuk pada penghayatan PNS Muda ini pada
kaedah-kaedah moral kemasyarakatan dimana moral dan penghayatan ini akan
menentukan terjadi atau tidaknya tindakan korupsi. *) Penulis pengamat masalah sosial kemasyarakatan tinggal di Tangerang
Selatan.
0 Komentar