JAKARTA, KORANTRANSAKSI.com
- Wacana
Pemerintah akan menggulirkan asuransi pengangguran mendapat tanggapan yang beragam
dari masyarakat. Meskipun baru sebatas ide, asuransi pengangguran bisa dianggap
sebagai langkah penting menggantikan pesangon.
Ketua Umum DPN
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mengatakan ide
asuransi pengangguran ditujukan untuk mengganti ketentuan pesangon sebagaimana
diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Asuransi
pengangguran, kata Hariyadi, memberi kepastian bagi pekerja untuk mendapat
penghasilan pengganti ketika mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selama ini pekerja
yang mengalami PHK memperoleh hak berupa pesangon yang jumlahnya cukup besar.
Namun, tidak sedikit pengusaha yang keberatan untuk membayar pesangon.
Akibatnya, pekerja yang di-PHK seringkali tidak memperoleh hak-hak pesangon
sebagaimana amanat UU Ketenagakerjaan.
“Ide asuransi
pengangguran itu bagus. Ini memberi kepastian
bagi pekerja, ketika mengalami PHK dia akan mendapat penghasilan
sementara sampai memperoleh pekerjaan baru,” kata Hariyadi beberapa waktu lalu
di Jakarta.
Hariyadi
mengusulkan pemerintah untuk mengkaji lebih serius asuransi pengangguran. Perlu
dilakukan upaya untuk mencegah potensi tindak kecurangan (fraud) ketika
asuransi pengangguran diselenggarakan. Misalnya, kecurangan yang dilakukan
pekerja dan HRD di perusahaan untuk mengambil manfaat program Jaminan Hari Tua
(JHT) dengan cara berpura-pura mengalami PHK.
Mengenai sumber
pendanaan program asuransi pengangguran, Hariyadi mengusulkan dananya berasal
dari iuran yang dibayar pihak buruh, pemberi kerja (pengusaha) dan pemerintah.
Paling penting, jangan sampai iuran itu memberatkan pengusaha dan pekerja.
Mekanisme itu digunakan sejumlah negara yang menerapkan asuransi pengangguran
seperti Australia dan Jerman.
“Kami sepakat jika
ide asuransi pengangguran itu untuk mengganti pesangon. Jika asuransi
pengangguran tidak ditujukan untuk itu atau sekadar mengurangi besaran pesangon
kami tidak sepakat,” tukas Hariyadi.
Presiden KSPI,
Said Iqbal, mengusulkan kepada pemerintah agar penyelenggaraan asuransi
pengangguran mengacu konvensi ILO. Merujuk Konvensi ILO No.102 Tahun 1952,
asuransi pengangguran bagian dari jaminan sosial. “Tapi kalau asuransi
penngangguran yang digagas pemerintah itu tujuannya menghilangkan atau
mengurangi pesangon kami tidak setuju,” tegasnya.
Iqbal melihat ada
pandangan Pemerintah yang menyebut sumber pendanaan asuransi pengangguran itu
akan diambil dari dana Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian
(JKm) yang digelar BPJS Ketenagakerjaan. Menurut Iqbal hal itu tidak boleh
dilakukan karena melanggar peraturan perundang-undangan. Ia mengusulkan sumber
dana asuransi pengangguran diambil dari APBN, bukan iuran yang dibayar buruh.
“Buruh kan sudah
taat bayar pajak, mestinya asuransi pengangguran anggarannya dari APBN. Praktik
itu dilakukan sejumlah negara seperti Singapura, Jepang dan negara-negara di
Eropa,” ujar Iqbal.
Pengamat Jaminan
Sosial, Amri Yusuf, mengatakan asuransi pengangguran merupakan salah satu
jaminan sosial yang tujuannya memberi perlindungan berupa santunan sementara
dan jaminan kembali bekerja bagi pekerja yang memenuhi syarat ikut program
tersebut. Walau menggunakan istilah asuransi, bukan berarti asuransi
pengangguran sifatnya komersial, program itu nirlaba dan menganut prinsip hukum
bilangan besar. “Mungkin istilah yang lebih cocok itu jaminan pengangguran,”
jelasnya.
Manfaat yang bisa
diterima peserta jaminan pengangguran biasanya tunjangan pengangguran yang
diberikan secara berkala. Bisa juga berbentuk pelayanan kerja seperti
penempatan untuk kerja kembali dan pelatihan kerja guna meningkatkan kompetensi
atau keahlian tenaga kerja. Untuk manfaat berupa pelayanan kerja itu dibutuhkan
pusat informasi pasar tenaga kerja yang harus disediakan departemen yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Sumber pendanaan
jaminan pengangguran itu menurut Amri praktiknya di setiap negara beragam. Bagi
negara maju yang pendapatan atas pajak berjalan baik biasanya sumber dana
diambil dari APBN. Seperti di Amerika Serikat, setiap tahun Presiden mengajukan
anggaran ke Senat untuk mendanai jaminan pengangguran. Sebagian negara lain
menggunakan pola fully funded yang basisnya dari iuran. Iuran itu ditanggung
pengusaha dan pekerja.
“Mirip seperti
program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) yang diselenggarakan
BPJS Ketenagakerjaan, masing-masing pihak dibebani iuran,” urai mantan Direktur
Umum dan SDM BPJS Ketenagakerjaan itu.
Menurut Amri tidak ada
kerugian bagi negara yang menerapkan jaminan pensiun. Tapi, bisa jadi pihak
pengusaha keberatan dengan program tersebut karena merasa terbebani dengan
besaran iuran yang harus dibayar. Malah program jaminan pengangguran bisa
menjadi alternatif untuk mengubah ketentuan pesangon yang pelaksanaannya tidak
efektif. (SN)
0 Komentar