Sarjana Pengangguran (Ilustrasi) |
Oleh: Arif Rahman Hakim*
MUNGKIN
semua orang pernah berpikir tentang pendidikan yang kita jalani sampai jenjang
yang cukup tinggi. Proses panjang, menghabiskan usia, dan biaya cukup mahal.
Lantas seberapa banyak dan dalam ilmu yang kita peroleh dapat mengantarkan
perubahan kehidupan berarti bagi sendiri dan orang lain?
Pertanyaan
ini menyadarkan kita tentang output sistem pendidikan yang terus menjadi
polemik. Berbicara pendidikan selalu terkait perubahan kehidupan menuju arah
kualitas dan kuantitas peserta didik serta lingkungan yang mengitarinya.
Itu
harapan semua orang. Tetapi, kenyataannya tidaklah selalu demikian. Sering kita
dengar pernyataan yang muncul dari masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke
bawah, "Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, toh banyak sarjana menjadi
pengangguran. Lebih baik bekerja untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga."
Persoalannya
sekarang adalah mengapa banyak sarjana yang seharusnya menjadi harapan justru menjadi
beban bangsa? Mengapa?
Apakah
ketika menjadi mahasiswa, mereka belajar setengah-setengah, atau dosen tidak
mampu mengantarkan mahasiswa ke arah yang diharapkan, atau sistem pendidikan
kurang menguntungkan bagi mahasiswa?
Ada
beberapa kemungkinan mengapa hal itu terjadi. Pertama, tak sedikit mahasiswa
kuliah di perguruan tinggi hanya murni akademis dalam arti belajar hanya tatap
muka dengan dosen dalam ruang kelas.
Mereka
jarang, bahkan tidak pernah mengikuti kegiatan intra atau ekstra-kampus, karena
khawatir akan merusak nilai akademisnya. Padahal, dua kegiatan tersebut dengan
kuliah saling melengkapi.
Kedua,
mungkin dosen pengampu mata kuliah tidak memiliki kualifikasi profesional atau
di bawah standar kompetensi, karena kesalahan perekrutan sehingga efek yang
terjadi pada materi ajarnya terkesan melangit dan sulit dipraktikkan di
masyarakat. Artinya, keilmuan yang dipelajari di ruang kelas sebatas teori
untuk teori, bukan untuk menjawab problematika kehidupan.
Berorientasi
Angka
Ketiga,
sistem pendidikan formal yang diterapkan di Indonesia hanya berorientasi pada
angka-angka yang tertuang dalam ijazah sebagai bentuk prestasi peserta didik.
Sistem pendidikan model seperti ini lebih mengedepankan kecerdasan intelektual
dan mengesampingkan sisi kecerdasan lain.
Secara
praktis, ini bukti bahwa sistem pendidikan masih percaya pada anggapan bahwa
orang yang mempunyai kecerdasan intelektual tinggi dapat menggapai kesuksesan. Namun,
hal ini dibantah oleh Daniel Golmen. Menurutnya, kecerdasan intelektual hanya
memberikan kontribusi 6-20 persen terhadap kesuksesaan dan selebihnya adalah
kecerdasan emosional.
Menurut
Golman, kecerdasan emosional sangat penting untuk dimiliki siapa pun dalam
menggapai kesuksesan. Sebab jika seseorang berinteraksi dengan siapa pun
hanya menggunakan kecerdasan intelektual dan tumpul secara emosional, maka
proses itu akan menjadi gagal, karena dia tidak mampu bersikap simpatik dan
persuasif.
Oleh
karena itu, sistem pendidikan yang mengukur keberhasilan peserta didik dengan
menggunakan angka-angka sebaiknya tidak terus dipertahankan, karena model
pendidikan tersebut secara kejiwaan menafikan sisi kemanusiaan yang lain.
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
0 Komentar