JAKARTA,
KORANTRANSAKSI.com - Dengan
pertimbangan untuk percepatan penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan
rendah berdasarkan pasal 13 huruf g, Pasal 14 huruf i, Pasal 15 huruf n, dan
pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan
Kawasan Permukiman, pemerintah memandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
(PP) tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Atas dasar
pertimbangan tersebut, pada 29 Desember 2016, Presiden Joko Widodo telah
menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor: 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan
Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
Menurut PP ini,
Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya disingkat MBR adalah
masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat
dukungan pemerintah untuk memperoleh Rumah.
Disebutkan dalam
PP ini, Pembangunan Perumahan MBR dilakukan untuk luas lahan tidak lebih dari 5
(lima) hektare dan paling kurang 0,5 (nol koma lima) hektare serta berada dalam
1 (satu) lokasi yang diperuntukkan bagi pembangunan Rumah tapak. Adapun lokasi
pembangunan Perumahan MBR sebagaimana dimaksud telah sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah. “Pembangunan Perumahan MBR sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh Menteri,” bunyi Pasal 3 PP ini.
Guna membangun
perumahan MBR itu, menurut PP ini, Badan Hukum yang akan melaksanakannya harus
menyusun proposal kepada bupati/walikota melalui PTSP (Pelayanan Terpadu Satu
Pintu) yang memuat paling sedikit: a. perencanaan dan perancangan Rumah MBR; b.
perencanaan dan perancangan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Perumahan MBR;
c. perolehan tanah; dan d. Pemenuhan perizinan.
Proposal
sebagaimana dimaksud pada dilengkapi dengan lampiran, yaitu: a. sertilikat
tanah atau bukti kepemilikan tanah lainnya; dan b. bukti pembayaran pajak bumi
dan bangunan tahun terakhir.
“Dalam rangka
pelaksanaan PTSP, bupati/walikota wajib mendelegasikan wewenang pemberian
peizinan dan nonperizinan terkait dengan pembangunan Perumahan MBR kepada PTSP
kabupaten/kota,” bunyi Pasal 8 PP ini.
Ditegaskan dalam
PP ini, dalam hal Badan Hukum tidak menyediakan lahan pemakaman di lokasi
Perumahan MBR, Badan Hukum dapat: a. menyediakan lokasi pemakaman yang terpisah
dari lokasi Perumahan MBR seluas 2% (dua persen) dari luas lahan Perumahan MBR
yang direncanakan; atau b. menyediakan dana untuk lahan pemakaman pada lokasi
yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sebesar 2%(dua persen) dari nilai
perolehan lahan Perumahan MBR yang direncanakan.
Pelaksanaan
konstruksi Perumahan MBR berupa Rumah MBR, Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum
Perumahan MBR yang berbentuk bangunan gedung, menurut PP ini, dilaksanakan
berdasarkan dokumen rencana teknis yang telah disetujui dan disahkan oleh PTSP.
Selanjutnya,
Pemerintah Daerah melakukan pengawasan konstruksi Rumah MBR, Prasarana, Sarana,
dan Utilitas Umum Perumahan MBR yang berbentuk bangunan gedung sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang konstruksi bangunan gedung.
Dalam rangka
pemanfaatan Rumah MBR, Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Perumahan MBR yang
berbentuk bangunan gedung, menurut PP ini, Badan Hukum mengajukan penerbitan
sertilikat laik fungsi untuk seluruh atau sebagian Rumah MBR, Prasarana,
Sarana, dan Utilitas Umum Perumahan MBR yang berbentuk bangunan gedung sesuai
dengan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung kepada PTSP.
“Sertifikat laik
fungsi sebagaimana dimaksud berlaku selama 20 (dua puluh) tahun untuk Rumah
tinggal tunggal dan Rumah tinggal deret, serta berlaku 5 (lima) tahun untuk
bangunan gedung lainnya,” bunyi Pasal 17 ayat (2) PP ini.
Menurut PP ini,
dalam hal Rumah MBR telah dijual kepada masyarakat, Badan Hukum mengajukan
kepada Kantor Pertanahan untuk pemecahan sertilikat hak guna bangunan dan
peralihan hak dari Badan Hukum kepada masyarakat. Pengajuan pemecahan
sertifikat dan peralihan hak sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dilampiri
dengan akta jual beli dari pejabat pembuat akta tanah.
Selanjutnya,
Kantor Pertanahan melakukan penyelesaian penerbitan sertifikat sebagaimana
dimaksud paling lama 4 (empat) Hari sejak pengajuan diterima secara lengkap dan
benar oleh Kantor Pertanahan.
PP ini juga
menegaskan, dalam rangka percepatan pelaksanaan pembangunan Perumahan MBR,
dibentuk tim koordinasi percepatan pembangunan Perumahan MBR yang ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
Badan Hukum yang
telah mengajukan proses pembangunan Perumahan MBR sebelum Peraturan Pemerintah
ini diundangkan, dapat diteruskan dan diselesaikan berdasarkan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Sedangkan
perizinan dan dokumen yang telah ada dalam rangka pembangunan Perumahan MBR
sebagaimana dimaksud tetap berlaku dan dapat digunakan untuk proses tahapan
selanjutnya.
“Peraturan Pemerintah
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 27 Peraturan
Pemerintah Nomor 64 Tahun 2016, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan
HAM Yasonna H. Laoly pada 29 Desember 2016 itu. (Q4/Rel)
0 Komentar