Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan. |
JAKARTA,
KORANTRANSAKSI.com - Peraturan
Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No.1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk
Kepentingan Perpajakan, menurut kalangan anggota dewan, dinilai tumpang tindih
dan rawan penyelewengan. Seperti diketahui Perppu hanya bisa dikeluarkan dalam
kondisi genting dan dalam keadaan yang memaksa.
Hal itu dikatakan oleh Anggota Komisi XI DPR
RI Heri Gunawan dalam rilisnya yang diterima media Jumat minggu lalu. Perppu
itu dikeluarkan Presiden Joko Widodo seiring keterikatan Indonesia dengan
perjanjian internasional bidang perpajakan untuk saling menukar informasi
keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information).
Perjanjian internasional itu ditandatangani presiden pada 8 Mei 2017 yang lalu.
Pasal 22 ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945,
menyebutkan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”. Menurut Heri, bila
merujuk pada UUD, tak ada kondisi mendesak atau memaksa dengan keluarnya Perppu
tersebut. “Apakah perjanjian internasional bisa dikualifikasi sebagai situasi
genting yang memaksa?,” tanya Heri. Karenanya Menkeu perlu menjelaskan
kontroversi ini kepada publik.
Seperti diketahui, dengan Perppu itu,
Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapat akses informasi keuangan dari
perbankan, pasar modal, perasuransian, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Kewenangan
itu otomatis menabrak prinsip kerahasiaan bank sebagaimana Pasal 40 ayat 1 UU
Tahun 1998 tentang Perbankan. Disitu disebutkan bahwa, setiap nasabah harus
dilindungi kerahasiaan datanya oleh bank. Disinilah dianggap menjadi tumpang tindih,
akan menabrak UU yang ada.
Menurut anggota dewan tersebut, UU lainnya
yang ditabrak adalah UU No.16/2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Dalam Pasal 34 Ayat (1) disebutkan, petugas pajak dilarang
mengungkapkan kerahasiaan para wajib pajak, baik laporan keuangan, data yang
diperoleh untuk pemeriksaan, dan dokumen yang diperoleh dari pihak ketiga yang
bersifat rahasia. Perppu itu juga menabrak UU No.21/2008 tentang Perbankan
Syariah. Dalam Pasal 41 disebutkan, bank wajib merahasiakan keterangan nasabah,
simpanannya, dan investor berikut investasinya.
Tumpang tindih Perppu ini juga merambah UU
No.8/1995 tentang Pasar Modal. Pasal 96 UU ini melarang memberi informasi orang
dalam kepada pihak mana pun yang ingin menggunakan atau memanfaatkan informasi untuk
kepentingan tertentu.. “Dari sini, bisa dilihat akan ada dilema yang besar bagi
aparatur perbankan, pajak, dan pasar modal dalam menjalankan kebijakan
pertukaran informasi tersebut. Ini akan menimbulkan ketidakpastian dan keraguan
eksekusi akibat tumpang-tindihnya peraturan perundang-undangan,” katanya.
Kendati begitu, Heri juga memahami semangat
keterbukaan informasi perpajakan. Satu sisi, butuh kerja sama internasional
untuk menghindari tindakan penghindaran pajak (tax avoidance), di sisi lain
pemerintah juga harus hati-hati saat melakukan tukar informasi keuangan dengan
negara-negara luar. (Odjie/L-6)***
0 Komentar