Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai. |
JAKARTA,
KORANTRANSAKSI.com - Anggota Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia oleh Natalius Pigai,
menilai bahwa Pemerintahan Indonesia saat ini dalam
kungkungan kebohongan Jokowi(er) dan Ahok(er).
“Tidak terasa Pemerintah Jokowi telah menelan waktu
tiga tahun. Tiga tahun itu pula Jokow(i)er, Ahok(er), Jokopedia, Seknas, Bara
JP, Partai Pendukung dkk, berkoar memuja-muji Pemerintah saban hari tanpa
henti, tanpa capek, dan tanpa bosan,” ujarnya dalam rilisnya, Jumat (16/6/2017).
“Anda katakan Pemerintahan Jokowi anti korupsi, anti
kolusi, dan anti nepotisme. Pemerintah memberantas mafia, kartel. Pemerintah
menepati janji, Pemerintah tidak langgar
HAM, komitmen pada rakyat, konsisten, demokratis, menghormati kebebasan
ekspresi. Semua kata-kata itu adalah kesimpulan kalian, yang
tentu saya hormati. Tapi, saya mau tanya, bagaimana bisa memberantas para
oligarki (mafia ekonomi dan kartel dagang) yang menempatkan seorang walikota ke
Gubernur dan Presiden dalam waktu kurang dari 3 tahun? Orbit bak meteor kalau
tidak di-backing-in oleh kaum oligarky para taipan hoakiao di negeri ini,” ujarnya.
Natalius Pigai bertanya, bagaimana kita bisa memastikan pemerintah
ini bersih anti KKN? Sedangkan BUMN dijadikan alat bancakan 25 orang penganggur
jalanan dan Job Seeker? Sedangkan Ahok sempat keluarkan jurus jitu adanya
sokongan para taipan dalam pemilihan Presiden, Pristono diduga dibungkam,
Freeport tadinya Jokowi tolak bak seorang nasionalis tulen, namun akhirnya
tunduk dan bertekuk lutut pada simbol imperialisme Amerika ini, dan lain-lain.
Dalam pemerintahan
ini, lanjutnya, kita sedang menyaksikan (sambil ketawa)
sandiwara murahan pemerintahan, antar institusi negara dibentrokkan, hukuman
mati, penenggelaman sampan-sampan murahan, hukum Jahiliah kebiri. Juga soal
kapitalisasi politik laut Cina Selatan yang suhu politiknya tidak pernah besar
dan tidak akan pernah besar dengan pura-pura dan menipu rakyat dengan
mengobarkan semangat nasionalisme di atas geladak kapal perang Republik
Indonesia pembelian rakyat kecil (wong cilik). Juga, penipuan murahan dan omong
kosong terhadap orang-orang telanjang di Papua dengan mengatakan akan bangun
rel kereta api di Papua, jalan tol melintasi tebing-tebing terjal.
“Akhirnya juga, saya mengukur moralitas pemimpin dengan
hanya dilihat dari Mobil ESEMKA bikinan Solo yang mendobrak citra seorang
Walikota hingga menjadi Presiden, orang nomor 1 Republik ini,” tegasnya.
Menurutnya, hari ini ESEMKA tidak bisa
diproduksi jadi mobil buatan domestik seperti Proton di Malaysia dan Mobil
Nasional zaman Suharto. Bangsa Papua berduka dalam kesedihan atas tragedi yang
menimpa ribuan bumi putra. Bahkan tokoh
pejuang pasar mama-mama meninggal dalam perjuangannya. Padahal Jokowi janjikan
proyek ini tidak pernah kunjung usai.
Natalius mengatakan bahwa dalam politik transaksional, bagaimana
berkoalisi ke Pemerintahan, selain tawaran menteri juga dugaan pembagian proyek
triliunan rupiah? Bukankah pembangunan infrastruktur, jalan, jembatan, dan
lain-lain, yang membutuhkan triliunan rupiah itu, Presiden menggunakan otoritas
melalui kontraktor Pemerintah dengan diam-diam menggandeng kontraktor swasta
dengan penunjukan langsung?
Menurutnya itulah kekuasaan, dengan berkuasa secara
leluasa bernafsu memanfaatkan kekuasaan untuk dirinya, sanak saudaranya,
koleganya, dan masa depan kariernya. Ada benarnya jika seorang Inggris Lord
Acton menyatakan power tends to korups, and will corupts absolutely. “Namun, saya menghormati bangsa ini, yang masyarakatnya
masih anonim dalam politik sebagaimana Herber Feith pernah sampaikan kondisi
pemilih tahun 55 dan saat ini hanya terjadi perubahan pemerintahan dan politik.
Sementara mayoritas masyarakat masih stagnan dan belum melek politik sehingga
timbul kelompok-kelompok solidaritas nekat, solidaritas buta, militan dan
cenderung fanatis,” imbuhnya.
Kelompok yang sangat
nampak saat ini, menurut Natalius adalah kelompok pendukung Jokowi, pendukung
Ahok, pendukung Mega. Mereka-mereka ini dianggap sebagai titisan dewa.
Kata-kata dan perbuatan tokoh-tokoh tersebut benar semua di hadapan pendukung
fanatik ini. Bahkan, kata-kata dan nasehat atau perintah mereka dianggap Titah Dewa,
Devine Right of the King, seperti Raja Jhon di Inggris abad ke 15.
“Semoga Jokower dan Ahoker pendukung Jokowi tidak demikian. Sehingga
orang-orang terdidik, komunitas masyarakat sipil, harus membangun bangsa Madani
yang kritis dan rasional, imparsial, objektif, untuk menempatkan dan memilih
pemimpin berdasarkan rasionalitas, akal yang sehat. Bukan atas dasar fanatisme
agama, suku, dan ras antar golongan,” harapnya.
“Kita sudah terlalu lama hidup di dalam kungkungan
kebohongan dan terpolarisasi berdasarkan fragmentasi elite bangsa, tidak
berdasarkan fragmentasi ideologi, jutaan rakyat menjadi nasionalis abangan
pengikut seorang oknum Individu. Saya katakan bangsa bodoh saja yang
menempatkan nasionalisme personifikasi oknum individu, bukan nasionalisme cinta
tanah air dan bangsa. Bahkan kelompok yang mengaku priyayi tidak memilik
doktrin ideologi,” jelasnya.
Masih menurut Natalius, Jokower, Ahoker, dan
kawan-kawan, rakyat ini sudah lama menderita. Seandainya negara dan rakyat
ibarat suami dan istri, sejak zaman dahulu kala mereka sudah kasih talak 3 ke
negara. “Apakah kita tahu bahwa rakyat yang hidup di pelosok nusantara ini
mereka hidup dan berpengaruh dengan adanya negara? Mereka hidup dari hasil
usahanya, ketergantungan kepada alam, hidup sangat autarkis, taken for granted
dari Illahi dengan sumber daya alam yang melimpah ruah di bumi nusantara. Tanpa
sentuhan negara bisa hidup, bahkan lebih aman,” ungkapnya.
“Mereka tidak paham Presiden operasi pasar harga daging
sapi turun sampai 80 ribu. Mereka tidak tahu operasi pasar untuk turunkan harga
pangan, sandang, dan papan. Mereka juga tidak paham berbagai kebijakan dan
regulasi tetek bengek yang dibuat oleh negara. Mereka juga tidak tahu segala
kebijakan pembangunan infrastruktur jalan-jalan bertingkat, jembatan tanpa
sungai, dan juga gedung-gedung pencakar langit yang menjulang,” terangnya.
“Jutaan rakyat di bumi pertiwi ini hidup bisu, tuli,
cenderung sebagai orang-orang tidak bersuara, nun jauh dari hiruk pikuk modern
yang hanya berkutat di Jakarta, Jawa, dan kota-kota tertentu. Memang, power
tens to corupts, semua ini akibat kita rakus berkuasa, kekuasaan memang
penting. Namun, kita lalai distribusi kekuasaan bagi putra putri di seluruh
nusantara.”
“Bagaimana mungkin Presiden selalu Jawa,
menteri-menteri mayoritas selalu Jawa, lantas bisa distribusi kekuasaan? Orang
Ambon sudah lama menderita, 40 tahun tidak pernah menjadi menteri, meskipun
Leimena pernah menjadi Wakil Perdana Menteri. Orang Dayak pemilik pulau
terbesar kedua setelah Greenland sampai hari ini belum ada yang menjadi
menteri, walaupun orang Dayak di Malaysia sering menjadi menteri. Sejak
Indonesia merdeka sampai saat ini, orang Buton di Sulawesi Tenggara belum
pernah dikasih kesempatan meskipun saudara-saudara kita, Laode-Laode, banyak orang-orang
hebat di negeri ini.”
“Orang Papua jadi pemberontak dulu baru dikasih
menteri, padahal Bangsa Papua adalah bangsa pemberi, bukan bangsa pengemis
seperti kau. Jong Ambon, Celebes, Borneo, dan Andalas, bersatu bukan tanpa cek
kosong. Mereka memberi dengan cek berisi sumber daya alam yang melimpah.”
Selain distribusi
kekuasaan, lanjutnya, ada aspek yang paling penting, adalah
distribusi pembangunan. Sangat tidak adil dan cenderung diskriminatif, ketika
pulau Jawa dan Sumatera konektivitas antar daerah baik darat, udara, dan laut
terbangun rapi. Sementara di seberang sana, Kalimantan, Nusa tenggara, Maluku,
dan Papua, pembanguan jalan Trans yang dibangun saat ibu kandung saya masih
kecil sampai saat ini belum pernah kelar.
“Ini bukan berita hoax, pembangunan jalan Trans Papua
dibangun tahun 1970, ibu saya usia 15 tahun. Sampai hari ini tidak ada jalan
Trans Papua yang terbangun. Para pendukung bodoh nekat sekalian, negeri ini
bukan monarki, juga bukan oligarky, yang kekuasaan hanya berpusat pada raja dan
sekelompok orang,” tandasnya.
Natalius mengatakan Negeri ini REPUBLIK INDONESIA, negeri
milik bersama, kekuasaan berpusat pada rakyat Indonesia, dan mereka yang
mengelola hanya diberi kedaulatan oleh rakyat (Summa Potestas, sive summum,
sive imperium dominium).
“Karena itu, esensi dari
negara adalah demokrasi, maka satu-satunya cara untuk memperbaiki bangsa ini
adalah distribusi keadilan (distribution of justice) melalui distribusi
kekuasaan (distribution of power), dan distribusi pembangunan (distribution of
development) di seluruh Indonesia. Dan, itu hanya bisa dilakukan melalui
pemimpin yang dipilih secara rasional, dan masyarakat Madani yang kritis tanpa
pendukung fanatis, militan dan cenderung destruktif,” pungkasnya. (Rel/SN)
0 Komentar