JAKARTA,
KORANTRANSAKSI.com - Dalam
program reforma agrarian, RUU Pertanahan menjadi salah satu yang
ditunggu-tunggu. Proses penyusunan RUU ini sudah lama berlangsung, dan sudah
beberapa kali didiskusikan. Pemerintah bahkan mempercepat proses penyusunan dan
tanggapan di internal pemerintah sendiri.
Para pemangku
kepentingan menunggu perubahan-perubahan aturan pertanahan yang selama ini
berpijak pada Undang-Undang Pokok Agraria. Mereka menunggu perkembangan proses
pembahasan Pemerintah dan DPR.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah
ditunjuk mewakili dan menjadi koordinator instansi Pemerintah dalam pembahasa.
Kepala Bagian
Perundang-undangan, Biro Hukum dan Humas
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN),
Yagus Suyadi, menjelaskan ada 4 poin penting dalam RUU Pertanahan yang kini
sedang digodok. Pertama, peran negara dalam penguasaan dan pengelolaan tanah
perlu diperkuat. Itu penting guna mencegah agar tanah tidak melulu menjadi
komoditas. Ini patut dijalankan dalam rangka penguatan hak-hak ekonomi rakyat
yang berkeadilan.
“Misalnya, selama
ini masyarakat hukum adat (MHA) sering terpinggirkan, jangan sampai mereka
terdampak karena kepentingan yang memanfaatkan tanah sebagai komoditas,” kata
Yagus dalam diskusi di Jakarta, Rabu (07/6).
Kedua, lebih
menciptakan kepastian hukum bidang pertanahan. Hal itu diwujudkan dengan
mengatur struktur penguasaan tanah, pembatasan penguasaan tanah dan memberantas
mafia tanah. Ke depan, pemerintah akan lebih ketat dalam mengatur tata ruang.
Itu perlu dilakukan untuk melindungi pemanfaatan tanah, jangan sampai melakukan
pelanggaran hukum khususnya lingkungan. Tak ketinggalan, akan ada sanksi bagi
pihak yang melanggar ketentuan tata ruang.
Ketiga, melibatkan
masyarakat dalam kebijakan pemanfaatan tanah. Dengan begitu masyarakat bisa
aktif memberi masukan dalam program pertanahan yang digulirkan pemerintah.
Sekaligus mencegah penggunaan kekuatan yang berpotensi merampas tanah
masyarakat. Keempat, semakin mendekatkan pelayanan di bidang pertanahan kepada
masyarakat. Targetnya, tahun 2025 mendatang seluruh tanah yang ada sudah
terdaftar.
Selain itu, Yagus
membeberkan RUU Pertanahan mengatur penguasaan ruang atas dan bawah. Ada bank
tanah yang merupakan badan hukum, bertugas melakukan perencanaan, perolehan dan
pemanfaatan tanah atau persediaan tanah. Tanah yang dihimpun itu nanti bisa
dimanfaatan untuk kepentingan pemerintah, masyarakat dan pertahanan.
Kemudian, hak
pengelolaan rencananya akan diperluas, bisa dimanfaatkan oleh pemerintah, BUMN
dan BUMD, badan pengelola, instansi lain dan MHA. Berikutnya, RUU Pertanahan
akan mengatur agar aset MHA bisa dipertahankan karena selama ini korporasi yang
ingin menggunakan wilayah adat bisa berkompromi dengan MHA. Hal itu berpotensi
menghilangkan aset yang selama ini dimiliki MHA.
Oleh karenanya RUU
Pertanahan akan memperkuat hak MHA terhadap wilayah adat mereka. Dengan begitu
investor yang ingin menggunakan wilayah adat hanya diberi hak pengelolaan.
Setelah hak pengelolaan itu habis masa berlakuknya, wilayah adat kembali
dikelola penuh MHA. “Paling penting RUU Pertanahan tidak mengurangi berbagai
prinsip yang telah tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,”
tukas Yagus.
Kepala Departemen
Advokasi dan Kebijakan Seknas Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yahya
Zakaria, mengingatkan agar RUU Pertanahan tidak seperti UU yang pernah
diterbitkan sebelumnya yakni mereduksi ketentuan yang telah diamanatkan UU
Pokok-Pokok Agraria. RUU Pertanahan harus selaras dengan UU yang disahkan
Presiden Sukarno pada 24 September 1960 itu.
Yahya mencatat ada
beberapa hal yang perlu diatur RUU Pertanahan seperti pendaftaran tanah yang
sifatnya tidak administratif tapi mengidentifikasi ketimpangan struktur
kepemilikan tanah. Pendaftaran itu dilakukan oleh satu lembaga yakni
Kementerian ATR/BPN, baik tanah kategori hutan dan non hutan, serta memenuhi
prinsip aktif, transparan, partisipatif dan kesetaraan. “Pendaftaran tanah ini
sebagai pendukung pelaksanaan reforma agraria dan rencana tata guna tanah
nasional,” usulnya.
Berikutnya, Yahya
menyoal prioritas hak atas tanah. Menurutnya hak guna usaha (HGU) merupakan
salah satu sumber konflik agraria dan perampasan tanah. Sesuai amanat UUPA, HGU
harus dikikis sampai habis dan dialihkan menjadi milik koperasi dan badan usaha
petani. Dalam pemanfaatan tanah yang diutamakan kepentingan masyarakat. “RUU
Pertanahan harus mengatur ketat dan tegas batas minimum dan maksimum
kepemilikan tanah agar tidak terjadi monopoli dan perampasan tanah,”
pungkasnya. (SN)
0 Komentar