Mirah Sumirat, Presiden ASPEK Indonesia. |
JAKARTA,
KORANTRANSAKSI.com - Gerakan
Nasional Non Tunai (GNNT/less cash society) yang dicanangkan Pemerintah melalui
Bank Indonesia sejak Agustus 2014 lalu, mendapat penolakan dari Asosiasi
Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) dan Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI).
Mirah Sumirat,
Presiden ASPEK Indonesia yang juga Wakil Ketua Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional,
dalam konferensi persnya di kantor LBH Jakarta, mengatakan bahwa dampak dari
GNNT ini akan menimbulkan jutaan pengangguran baru akibat pemutusan hubungan
kerja (PHK) massal di berbagai sektor industri.
Kondisi ini sangat
ironis di saat masih ada 7.7 juta pengangguran justru Pemerintah sendiri yang
mengeluarkan regulasi yang berpotensi menimbulkan jutaan pengangguran baru.
Pada Oktober 2017 yang akan datang, GNNT akan menyasar industri jalan tol di
mana Pemerintah akan memaksakan pemberlakuan 100% gardu tol otomatis dan hanya
menerima pembayaran non tunai/elektronik. Diperkirakan ribuan gardu tol yang
selama ini dioperasikan oleh manusia akan berganti dengan mesin. Sehingga
puluhan ribu pekerja diperkirakan ter-PHK dan akan kehilangan pekerjaannya.
Pertanyaannya,
mengapa Pemerintah memaksakan pemberlakukan GNNT? Mirah Sumirat mengatakan
bahwa GNNT ini, patut diduga, tidak terlepas dari aksi korporasi perbankan yang
ingin menarik dana sebanyak mungkin dari masyarakat dengan cara yang mudah.
Cara termudah bagi korporasi perbankan adalah meminta dukungan kepada
Pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang berpihak pada kepentingan bisnis perbankan. “GNNT adalah produk lobby korporasi perbankan kepada
Pemerintah,” ungkap Mirah Sumirat.
Hal ini dapat terlihat
saat pencanangan GNNT oleh Bank Indonesia pada Agustus 2014 yang lalu, dimana
pemain utama GNNT di awal adalah 3 bank pemerintah yang tergabung dalam
Himpunan Bank Negara (Himbara) yaitu Bank Mandiri, BNI dan BRI. Bentuk lobby
korporasi perbankan kepada Pemerintah (pusat dan daerah) juga terlihat jelas
saat pencanangan GNNT yang ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman
antara Bank Indonesia dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,
Kementerian Keuangan, Pemerintah Daerah serta Asosiasi Pemerintahan Provinsi
Seluruh Indonesia sebagai komitmen untuk mendukung GNNT. (Sumber: Siaran pers
Bank Indonesia No. 16/ 58 /DKom tanggal 14 Agustus 2014
http://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_165814.aspx)
Masyarakat
sesungguhnya tidak membutuhkan GNNT, termasuk pengguna jalan tol tidak
membutuhkan transaksi non tunai/elektronik di gardu tol otomatis (GTO)! GNNT
dan GTO hanya menguntungkan korporasi perbankan dan mengabaikan hak rakyat!
Jika target pemberlakuan transaksi non tunai hanya “mudah, aman dan efisien”
itu jelas terlalu mengada-ada karena toh selama ini masyarakat sudah
menggunakan uang tunai dalam setiap transaksinya!
Yang diperlukan
rakyat adalah jaminan lapangan pekerjaan yang layak dan upah yang maksimal agar
setiap rakyat dapat memiliki kemampuan daya beli untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Jika maksud pemberlakuan GTO adalah untuk mengatasi kemacetan, ini
juga terlalu mengada-ada, karena kemacetan tidak akan dapat ditanggulangi
dengan pemberlakukan GTO! GNNT/less cash society hanya akal-akalan korporasi
perbankan yang didukung Bank Indonesia dan Pemerintah, untuk dapat leluasa
menarik dana dari masyarakat, dan meraup keuntungan bisnis dari setiap
transaksi non tunai.
“Pemerintah ternyata hanya peduli pada kepentingan bisnis
semata, dan melalaikan kewajiban Negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan
yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah telah menjadi pihak yang
justru melahirkan pengangguran baru!,” tegas Mirah
Sumirat.
Selain ancaman PHK
massal di berbagai sektor industri, ASPEK Indonesia juga menilai bahwa GNNT
bertentangan dengan Undang Undang tentang Mata Uang dan Undang Undang
Perlindungan Konsumen. Mirah Sumirat membeberkan beberapa fakta yang dapat
menjadi alasan masyarakat pengguna jalan tol untuk menolak pemberlakuan Gardu
Tol Otomatis (GTO) di seluruh jalan tol, yaitu:
1. GTO
telah membuat Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah, menjadi tidak berlaku.
Hal ini bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata
Uang), dimana disebutkan bahwa uang adalah alat pembayaran yang sah dan mata
uang yang dikeluarkan oleh Negara Republik Indonesia adalah RUPIAH, dengan
ciri-ciri yang juga telah diatur dalam UU Mata Uang.
2. Transaksi
melalui GTO hanya dapat dilakukan oleh pengguna jalan yang memiliki e-Toll
Card, padahal fitur e-Toll hanya bersifat sebagai pengganti uang cash dan bukan
merupakan alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam UU Mata Uang.
3. Pasal
21 ayat (1) UU Mata Uang mengatur bahwa; “Rupiah wajib digunakan dalam:
a. setiap
transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b. penyelesaian
kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
c. transaksi
keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
4. Pasal
23 UU Mata Uang menyatakan bahwa “Setiap orang DILARANG MENOLAK untuk menerima
RUPIAH yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk
menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk
transaksi keuangan lainnya di wilayah NKRI”.
5. Dalam
UU Mata Uang terdapat sanksi pidana terhadap orang yang menolak menerima
Rupiah, yaitu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana
denda paling banyak 200 juta rupiah (Pasal 33 ayat 2). Bahkan apabila dilakukan
oleh korporasi, pidana dendanya ditambah 1/3 dari denda maksimum, penyitaan
harta benda korporasi dan/atau pengurus korporasi, hingga pencabutan ijin usaha
(Pasal 39 ayat 1).
Mirah juga
mengingatkan masyarakat untuk kritis karena pemilik dan pengguna kartu e-toll,
tanpa sadar sesungguhnya telah "diambil paksa" uangnya oleh pihak
pengelola jalan tol dan oleh bank yang menerbitkan kartu e-toll. Mirah
mencontohkan, apabila masyarakat membeli kartu e-toll seharga Rp.50.000,-
sesungguhnya hanya mendapatkan saldo sebesar Rp.30.000,-. Kemana selisih uang
yang Rp.20.000? Konsumsen "dipaksa" untuk merelakan kehilangan
dananya, bahkan sebelum kartu e-toll digunakan untuk transaksi! Belum lagi dana
saldo e-toll yang mengendap di bank karena tidak dipergunakan oleh pemilik
kartu, yang kemudian dapat diputar oleh bank untuk kepentingan bisnisnya.
Bayangkan, berapa triliun dana masyarakat yang akan diambil paksa dari sistem
100% GNNT dan GTO ini? ungkap Mirah Sumirat.
Kesimpulannya:
Masyarakat tidak membutuhkan GNNT termasuk tidak membutuhkan GTO karena
seharusnya masyarakat berhak menggunakan uang tunai rupiah sebagai alat tukar
yang sah di negeri ini! Bagaimana mungkin konsumen yang bertransaksi di wilayah
NKRI dan ingin membayar dengan menggunakan uang rupiah yang sah berlaku di
negeri ini, justru ditolak untuk dilayani?
ASPEK Indonesia
meminta kepada Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk: 1. Segera
menghentikan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT/less cash society) yang
dicanangkan oleh Bank Indonesia. 2. Segera
menghentikan pembangunan 100% gardu tol otomatis (GTO), yang saat ini semakin
gencar dilakukan oleh PT Jasa Marga dan perusahaan jalan tol lainnya.
3. Tetap memberikan pilihan
kepada pengguna jalan tol untuk memilih pembayaran secara tunaibatau non tunai
. Dengan menyediakan gardu tol yang melayani transaski melalui manusi atau
mesin ( Gardu Tol Otomatis/ GTO ) di seluruh gerbang tol di Indonesia, demi
jaminan kepastian kerja pekerja jalan tol dan demi menjamin hak konsumen untuk
bebas bertransaksi 4. Membuat kurikulum dan
memberikan pendidikan bagi pekerja dan calon pekerja yang berbasis pada
teknologi tanpa kecuali, yang biayanya ditanggung oleh Negara. (Suhada)
0 Komentar