JAKARTA,
KORANTRANSAKSI.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera
memeriksa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin
Arsyad Temenggung sebagai tersangka dalam penyidikan tindak pidana korupsi
terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
“Arsyad
diperiksa sebagai tersangka dalam penyidikan tindak pidana korupsi pemberian
SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan
pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN,” kata
Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Jakarta, Jumat
(13/10)kepada awak media.
Khusus penyidikan
kasus dengan tersangka Syaruddin Temenggung tersebut, KPK sampai Kamis lalu
(12/10) telah memeriksa sekitar 39 saksi. Sebelumnya, Syafruddin Arsyad
Temenggung telah diperiksa baru satu kali yaitu pada tanggal 5 September 2017.
Pihak penyidik baru menggali informasi tentang pengangkatan, tugas, dan fungsi
tersangka sebagai mantan sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan
Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Untuk pemeriksaan
selanjutnya akan masuk pada materi utama. Sebelumnya, berdasarkan audit
investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI kerugian keuangan negara kasus
indikasi korupsi terkait penerbitan surat ketetapan lunas (SKL) terhadap BDNI
sebesar Rp4,58 triliun. KPK telah menerima hasil Audit investigatif itu
tertanggal 25 Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian
negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham
pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan
aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
“Dari
laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun dari
total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8
triliun,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Senin sebelumnya(9/10).
Menurut Febri, dari hasil audit investigatif BPK itu disimpulkan adanya
indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan
walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan.
Menurut
catatan lama KORANTRANSAKSI, pihak Kejaksaan Agung era Hendarman supandji telah
menyatakan ada tiga “sasaran tembak” pengemplang uang negara lewat BLBI. Yaitu
diantaranya kelompok Salim Group. Kelompok milik taipan Sudono Salim itu
dibidik terkait kasus penyimpangan penyerahan asset obligor yang dikelola PT.Holdiko.
Perusahaan itu merupakan “ciptaan” BPPN yang fungsinya mengelola asset
pengembalian pembayaran utang yang diserahkan Salim Group.
Dua kasus lainnya
menyangkut obligor yang menerima kucuran BLBI sebesar Rp.37 triliun pada tahun
1997. Masing-masing obligor berinisial JST, PL, dan SS. Kasus hukumnya sudah
sampai pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) yang ditangani Mahkamah Agung. Soal
kasus BLBI ini, awalnya pihak Kejaksaan Agung menggebu-gebu akan menggarap
tuntas penyimpangan BLBI. Bahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus waktu
itu sampai mengerahkan 35 orang jaksa terbaik untuk memprosesnya. (Odjie/Ak/Is)***
0 Komentar