Suasana Diskusi & Obrolan Rakyat Anti Korupsi (DOBRAK). |
Diskusi yang
dipandu oleh Ketua Harian DPP NCW Alex Pang, mengungkapkan prolog dari awal
pembebasan lahan TPA Bantar Gebang tahun 80-an, dan pasang surut pengelolaannya
dari swakelola Pemprov DKI Jakarta dan Pihak ke-3 atau Mitra Kerja. Sebelumnya
PT. Patriot Bangkit Bekasi (PBB) yang hanya modal kertas (Perjanjian Kerja
Sama) dengan DKI, ternyata hanya mensub-kan semua kegiatan pengelolaan ke Sub
kontraktor.
Terakhir, lanjut Alex
Pang, melalui tender investasi dimenangkan oleh PT. Godang Tua Jaya (GTJ) jo
PT. Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) untuk 15 tahun. “Namun Kerjasama diputus di tengah jalan dengan tuduhan
12 “dosa” GTJ- NOEI dan adanya indikasi korupsi dalam pengelolaan dari
perjanjian dengan Pemprov DKI , oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama (AHOK),” terangnya.
Ketua Umum DPP NCW
Drs. Syaiful Nazar menyatakan bahwa memang dalam menyongsong pelantikan
Gubernur DKI terpilih Anies Baswedan, para pihak mulai memainkan perannya untuk
mendapatkan “kue proyek” dari tumpukan sampah di 108 Hektar lahan pembuangan
sampah DKI di Kota Bekasi. Termasuk forum pertemuan Focus Group Discussion
(FGD) di Wulan Sari Resto, tanggal 27 September 2017 (Aksi 279) , yang dihadiri
2 politisi dari anggota DPRD DKI, M. Taufik dan Anggota Komisi A DPRD Kota
Bekasi Aryanto.
Sementara Bung
Riza dan Ir. Chandra menyatakan tidak menghadiri Forum FGD itu, meskipun
tertera nama dalam daftar hadir di netizen. Dan menurut inisiator Kaukus
Lingkungan Hidup Bekasi Raya, Agus Salim Tanjung menyatakan bahwa Benny Tunggul
adalah ‘penumpang gelap’ di Kaukus Lingkungan Hidup Bekasi Raya.
“Tapi sebagai anti
rasuah kami hanya fokus dan komit mengawasi dan mengkawal adanya indikasi
korupsi dalam pemberian hibah Rp. 25 Miliar untuk pembangunan sumur artesis dan
penyerahan dana kompensasi 315 Miliar yang baru dikucurkan oleh
Pemprov DKI ke Pemkot Bekasi untuk 18. 000 Kepala Keluarga. Apakah dilaksanakan
sesuai anggaran yang ada dan apakah dana kompensasi disalurkan kepada yang
berhak ?,” tegas Syaiful.
Sementara itu
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Pemerhati Lingkungan Hidup dan B3 Indonesia
(AMPHIBI) Agus Salim Tanjung, So.Si, menjelaskan
panjang lebar bahwa kerusakan lingkungan hidup di tempat pembuangan sampah
terpadu (TPST) Bantar Gebang tidak dapat disoroti secara tersendiri Karena
kerusakan lingkungan yang sama juga terjadi dan mungkin lebih parah di tempat
pembuangan akhir (TPA) Sampah Kota Bekasi di Sumur Batu dan TPA Sampah
Kabupaten Bekasi di Desa Burangkeng termasuk pembuangan sampah illegal yang
open dumping.
Agus Salim yang
sukses menggerakkan roda AMPHIBI melalui program Kampung Peduli Pencemaran
Lingkungan (KPPL) dengan konsep menyelesaikan masalah dengan memberi solusi
menambahkan bahwa radius pencemaran udara, Tanah dan Sungai dari Sampah di
Bantar Gebang, Sumur Batu dan Burangkeng setelah puluhan tahun telah mencapai
titik membahayakan (hazardous) terutama air lindi yang melewati 5 perumahan dan
akhirnya terbuang ke kali jambe mengalir hitam ke kali Cikarang Bekasi Laut
(CBL) dan berakhir di teluk Jakarta.
Untuk itu aktivis
yang akrab dipanggil Bang Tanjung ini menyepakati pembentukan Kelompok Kerja
(POKJA) sinergi NCW dan AMPHIBI untuk menyoroti dan berpartisipasi dalam
perbaikan lingkungan dan sosialnya dan disepakati berkantor di sekretariat DPP
NCW di Jakarta.
Para Peserta Diskusi & Obrolan Rakyat Anti Korupsi (DOBRAK). |
Hal ini didukung
oleh anggota DP3SN lainnya, Ir. Chandra Hutasoit, yang mengungkap data bahwa
dari ribuan pemulung eks Godang Tua yang tadinya dapat upah harian Rp. 1,5 juta
per bulan, 1.000 orang telah diangkat menjadi pegawai harian DKI dengan Upah
Minimum Regional (UMR) Rp. 3,5 jt/ bulan. Chandra sangat menyoroti kelayakan
hidup puluhan ribu para pemulung di TPST Bantar Gebang. Menurutya utuk
memanusiakan mereka selayaknya sudah dibangun Rumah Susun (RUSUN) di Bantar
Gebang. Saat ini telah terjadi kekacauan kemanusian di komunitas pemulung
dengan berbagai aspek kehidupan sehari-harinya
Untuk
menghangatkan suasana diskusi, Mumuh Solihin MM, insan perfileman yang cukup
lama bergabung di Citra Cinema pimpinan Dedy Mizwar menyambar dengan mengatakan
bahwa pihaknya telah melakukan sineas awal di lokasi Bantar Gebang dan dalam
waktu dekat akan memproduksi Film documenter 30 tahun TPA Bantar Gebang dan
Sinetron yang mengangkat aktivitas social (social interests) masyarakat di
Bantar Gebang ke layar kaca. “Ide dasarnya juga dari Bung Alex”, katanya sambil
menunjuk Alex, wartawan senior yang saat ini menjadi Ketua Harian DPP NCW.
Dua pembicara H.
Ismail Ibrahim dan I. Tawary menyoroti dari Sosial Politik. Ismail yang 2
Periode menjadi Ketua DPRD Kota Bekasi menyatakan secara politis dan pribadi
dirinya dulu pernah menjadi pelaku sejarah menutup TPA Bantar Gebang selama 7
hari. Tapi ternyata sampah DKI Jakarta bukan hanya kepentingan Pemprov Jakarta.
Ia adalah milik Negara karena di Ibukota Negara. Sampah memuat segala aspek
termasuk luar negeri. Bayangkan sampah istana tidak diangkut, sampah kedutaan
numpuk, sampah pasar berserakan bau kemana-mana.
“Saya pun harus mencabut
rekomendasi tutup TPA Bantar Gebang setelah mendapat penjelasan Antara
Departemen (Interdep), Gubernur DKI Sutiyosi, Menteri Lingkungan Hidup, Nabiel
Makarim, dan Presiden Megawati Soekarnoputri. Jadi kepada rekan-rekan aktivis
saya sarankan, janganlah berpikir menutup TPST Bantar Gebang karena sampai hari
ini Pemprov DKI belum memiliki lahan lain sebagai penampung sampah, kecuali di
Bantar Gebang Kota Bekasi,” lirih Ismail.
Di pihak lain Tawang
menyoroti adanya politisasi TPST Bantar Gebang dari Sidak komisi II DPRD Kota
Bekasi pasca pelantikan Gubernur DKI Jakarta. “Intinya semua stakeholder tidak
mau baunya tapi mau uangnya. Karena besar putaran uang di situ. Jadi wajar
kalau muncul juga para penumpang gelap yang ingin bermain didalamnya. Karena
TPST Bantar Gebang ini strategis dimainkan dalam kancah sosial dan politik,” kliknya singkat. (Rel/NCW)
0 Komentar