TANGSEL, KORANTRANSAKSI.com - Salah satu program pemerintah sekarang ini adalah
melaksanakan sertifikasi massal masyarakat lewat Program Nasional Agraria PRONA
dengan biaya ditanggung pemerintah alias gratis. Diharapkan rakyat yang tidak
mampu akan terbantu memperoleh sertifikat atas tanahnya dengan tanpa biaya.
Namun bagaimana realisasi yang terjadi dalam pelaksanaan di lapangan? Dengan
berbagai alasan dan dalih “tidak mungkin tanpa biaya”, pelaksanaan di lapangan
tetap dimanfaatkan oknum. Masyarakat tetap harus merogoh kocek sekitar Rp.1
juta sampai Rp.2 juta per-sertifikat. Iyu menyebar khususnya di kecamatan
kecamatan Ciputat dan Pondok Aren.
Pasca acara seremoni penyerahan sertifikat secara
simbolis oleh Presiden Jokowi di Serpong, muncul berbagai informasi, masukan
dan keluhan warga, bahwa mereka tetap harus mengeluarkan dana jutaan rupiah di
luar biaya meterai, administrasi kelurahan/kecamatan, dan pajak bumi-bangunan.
Ada himbauan agar Tim Saber Pungli yang juga dicanangkan Presiden Jokowi
berperan aktif menindak oknum-oknum yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat
(Pokmas) petugas tingkat RT dan RW. Mereka sudah lakukan pungli dengan dalih biaya
transportasi, uang kopi, akomodasi untuk juru ukur, dan lain-lain. Bila dirinci
besaran pungli, nilai untuk 1000 sampai 2000 paket di tiap kelurahan, nilainya
cukup fantastis. Total ratusan juta sampai mendekati milyaran rupiah.
Karena jumlahnya sampai ribuan paket di tiap kelurahan,
tentunya ada saja keluhan dan problem. Baik dari pihak kelurahan (RT dan RW
tergabung dalam Pokmas) maupun petugas yang ditunjuk oleh kantor BPN setempat.
Pengertian gratis diartikan oleh masyarakat, benar-benar gratis. Padahal warga
pemilik tanah harus mengurus administrasi surat-surat yang belum lengkap, bayar
pajak, pembelian meterai yang jumlahnya mencapai 12 lembar meterai, dan
lain-lain. Namun jumlah tersebut bila ditotal dan ditambah dana transportasi,
uang kopi dan uang makan petugas, tidak sampai jutaan rupiah. Adanya ketentuan
yang dipatok sementara oknum petugas di tingkat RT dan RW mencapai Rp.1 juta
sampai Rp.1,5 juta, bisa ditengarai sebagai “pungutan liar”(PUNGLI).
Pondok Aren
Paket sertifikat menyebar di kawasan Kecamatan Ciputat
dan Pondok Aren, Tangerang Selatan. Seperti diketahui, Prona di wilayah Pondok
Aren mencakup 6 kelurahan. Meliputi Pondok Betung, Pondok Aren, Perigi Lama,
Pondok Pucung, Pondok Kacang Timur, dan Pondok Kacang Barat. Masyarakat
setempat konon meminta agar dalam proses tersebut Tim Saber Pungli yang
dibentuk Presiden Jokowi, berperan lakukan pengawasan dan lakukan penindakan
terhadap oknum-oknum tingkat RT dan RW. Bukan tak mungkin, pungutan dilakukan
secara sistematis. Begitu terkumpul, baru dibagi alokasinya sesuai dengan
jabatan masing-masing. Bahkan jatah untuk Lurah, Sekretaris Lurah, Keamanan
setempat, diduga juga ada.
Kabar yang diperoleh
awak media, konon ada beberapa Lurah di Tangsel yang jatuh sakit pasca pelaksanaan
Prona. Bisa juga mereka terlalu lelah karena surat-surat cukup banyak yang
harus ditanda-tangani. Namun ada juga Lurah yang stress karena tersandung kasus
pungutan bawahan yang harus dipertanggungjawabkannya. Ada yang diperiksa
polisi, ada yang masuk ke rumah-sakit untuk dirawat. Belum diperoleh kabar
apakah Tim Saber Pungli sudah turun berperan, kemudian sampai dimana proses
langkah penanganan hukum yang dilakukan, masih dalam pemantauan awak media di
Tangerang Selatan. (Okt/mhrj)***
0 Komentar