Jakarta,
KORANTRANSAKSI.Com - Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring
Peradilan Indonesia Corruption Watch ( ICW), Tama Satrya Langkun, menilai
mekanisme perlindungan terhadap pelapor kasus korupsi belum komprehensif. Hal
itu diutarakan untuk mengkritisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018
soal pemberian imbalan kepada pelapor kasus korupsi.
Dalam PP tersebut,
sebenarnya telah disebutkan bahwa lembaga penegak hukum dapat bekerja sama
dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam hal memberikan
perlindungan hukum. Lembaga penegak hukum yang dimaksud terdiri dari
kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun menurut
Tama, masih ada beberapa hal teknis dan kewenangan antarlembaga terkait
perlindungan pelapor yang belum diatur dalam peraturan tersebut.
"Contoh dalam
perlindungan hukum, apakah cukup mendampingi, dibawa ke LPSK, terus LPSK
menetapkan sebagai status perlindungan hukum, kemudian memberi pendapat di
pengadilan. Bagaimana dengan pengacaranya, dan lain-lain," jelas dia.
Perlindungan ini
menjadi aspek penting sebab para pelapor rawan terkena serangan, baik secara
fisik maupun hukum. Oleh sebab itu, ia mengharapkan masing-masing lembaga
penegak hukum membuat standar operasional prosedur (SOP) terkait perlindungan pelapor.
"Kalau di kepolisian mungkin bisa peraturan Kapolri, kalau di kejaksaan
bisa peraturan Jaksa Agung, kalau di KPK bisa peraturan Komisioner,"
tuturnya (TIM)
0 Komentar