Ada urgensi
kuat. Itulah Indonesia yang harus segera
diselematkan. Jika tidak, negeri kita kian dibayang-bayangi kesirnaan. Bukan
bayang-bayang atau prediksi utopis. Tapi, semua itu berangkat dari sejumlah indikator
faktual, terkait dengan penguasaan sumber daya alam yang dieksploitasi dan
eksplorasi tanpa batas. Dari tahun ke tahun, terjadi gerakan destruksi
(penghancuran) secara sistimatis, bahkan – boleh dibilang – terencana.
Akibatnya, alam pun kian “mengamuk”, dalam bentuk longsor, banjir, gempa
fulkanik ataupun tektonik (pergeseran lempengan bumi), termasuk tsunami. Dan
itulah yang sering terjadi. Dapat kita garis-bawahi, stuktur lingkungan alam
kian terancam. Tidak tertutup kemungkinan, “program” penggundulan-pembakaran
hutan dan eksploitase secara eksploratif – sesuai dengan penguasaan tanpa batas
yang dimilikinya – akan membuat negeri ini kian dipertanyakan kelangsungan
hidupnya.
Sementara,
sistem politik kian mengarah para dominasi kaum pemodal. Mereka mengejar
kekuasaan. Bukan untuk misi penyejahteraan rakyat, tapi justru sebaliknya:
mempertajam taringnya, sehingga seluruh unit ekonomi kian ada dalam
genggamannya. Dan, untuk mencapai target itu, sektor politik penjadi opsi yang
harus dikuasai dengan cara apapun, meski harus menghalalkan segalanya. Di
sanalah kita saksikan panorama politik yang jauh dari esensi dan tujuan mulia
politik, termasuk nilai-nilai demokrasi. Demokrasi kita yang kita anut hanya
mekanisme untuk melegalisasi kaum pemodal menguasai seluruh unit ekonomi di
tanah air ini.
Sebagian mereka
mengejar langsung ke sumbu utama kekuasaan: sebagai kepala daerah
(Bupati/Walikota, Gubernur) atau Presiden. Sebagian lagi memperkuat diri di
lembaga legislatif (parlemen). Motivasi keterjunannya ke panggung kekuasaan
(eksekutif ataupun legislatif) – perlu kita catat – hanya sebagian kecil yang
memamg terpanggil untuk kepentingan rakyat. Selebihnya – dan itu yang jauh
lebih dominan – adalah mengejar fasilitas negara. Ketika ada di panggung
kekuasaan, maka sifat aji mumpung itulah yang jauh lebih menonjol.
Karena itu, sejumlah output kebijakannya hanya sebagian kecil yang
menyentuh kepentingan rakyat. Maka, janganlah heran ketika panorama kemiskinan
kian menaik jumlahnya. Setidaknya, jauh dari hasil yang ditargetkan
penurunannya.
Bagaimana dengan
sektor hukum? Penegakan hukum – secara teoritik – dirancang untuk menciptakan
keadilan secara pasti. Fakta di lapangan justru kian jauh dari kerangka
teoritik itu. Sikap tebang pilih – terutama untuk kasus korupsi yang melibatkan
kalangan elitis penguasa dan atau partai – masih menguat. Implikasinya,
bangunan korupsi bukan kian mengurang, tapi justru kian menggila. Dan cita-cita
menuju Indonesia bersih semakin fatamorganis.
Memang, proses
penegakan hukum masih ada. Tapi, pemandangan “hukum tajam ke bawah dan tumpul
ke atas”, masih menjadi pemandangan yang terus mewarnai belahan Nusantara ini.
Inilah panorama ketidakadilan yang – dari tahun ke tahun, sampai detik ini –
belum mencapai titik ideal seperti yang dikukandangkan kaum reformis.
Sementara itu,
tataran sosial dan budaya kian tererosi dengan peradaban modern yang kian hedonistik. Bukan sekedar
gaya hidup yang materialistik tapi segalanya ditampilkan secara liberal, tanpa
mengindahkan norma atau budaya yang masih menjunjung nilai-nilai moral. Warna
baru peradaban modern yang jauh dari nilai-nilai intrinsik kemanusiaan dan
seperti bebas dari anasir ketuhanan, semua itu membuat tatanan kehidupan ini
bukan hanya kian individualistik, tapi semakin kuat sikap egoistiknya. Semuanya
diukur dengan kepentingan sempit diri pribadi dan atau kelompoknya. Semau gue.
Jika semua sendi
itu dibiarkan terus di tengah Bumi Pertiwi ini, maka negeri ini – tak lama lagi
– hancur berpuing-puing. Tinggal nama. Atau – minimal – berubah nama, tidak
lagi utuh “Indonesia”. Sebuah renungan, haruskah kita biarkan? Hanya
orang-orang yang tidak pandai bersyukur atau tidak bisa berterima kasih kepada
para pejuang yang membiarkan kesirnaan Tanah Air Indonesia ini. Karena itu,
jawabannya hanya satu: selamatkan negeri ini. Sebagai ekspresi rasa syukur
kepada Allah yang telah memberikan berkat (karunia), sehingga Indonesia – pada
17 Agustus 1945 – merdeka dari tangan penjajah. Juga, sekaligus sebagai
ekspresi rasa terima kasih kepada para pahlawan, yang telah mengorbankan jiwa,
raga bahkan hartanya untuk negeri kita tercinta. Inilah tugas generasi
pelanjut.
Lalu, bagaimana
kita harus memulai upaya menyelematkan negeri ini. Idealnya, harus muncul
kesadaran kolektif seluruh elemen bangsa untuk terpanggil menyelamatkannya.
Meski demikian, perlu pembagian peran. Dalam konteks ini, anasir pimpinan
dinilai menjadi variabel determinan, karena kiprahnya memang bisa menentukan
arah, apakah akan selamatkan negeri ini atau sebaliknya. Inilah urgensinya kita
perlu menghadirkan sosok pemimpin. Lalu, pemimpin yang seperti apa yang dinilai
berpotensi bakal menyelematkan negeri ini, baik dalam jangka pendek, menengah
atau panjang.
Jika kita
membuka kembali perjalanan panjang peradaban dunia, maka kita temukan sistem
kepemimpinan kenegaraan, yaitu nubuwwah atau profetik (kenabian),
kerajaan (mulukiyyah), khilafah, republik dan sosialis-komunis. Masing-masing
sistem “pemerintahan” ini punya irama tersendiri. Dan kita dapat mengambil dari
model pemerintahan yang sudah tergelar itu. Kini – dalam alam demokrasi ini –
dunia sudah terjebak pada sistem demokrasi. Dan republik menjadi opsi yang
mendunia, di samping – untuk beberapa negara – masih setia dengan sistem
kerajaan dan kesultanan.
Dengan mecermati
sejumlah sistem itu, kiranya kita perlu melirik kembali sebuah sistem
pemerintahan zaman klasik, yakni sistem nubuwwah atau profetik
(kenabian). Urgensinya, sistem ini senantiasa tak pernah lepaskan keberadaan Allah
sebagai sang Pemilik jagad raya ini. Di tengah proses dan dinamika
pemerintahan, sang pemimpin selalu merujuk pada bagaimana tuntunan Allah.
Inilah kondisi yang bakal menyelamatkan negeri ini, bahkan sejumlah negara yang
senantiasa mengingat rambu-rambu yang digariskan sang Maha Kuasa.
Sentralisasi
acuan ke Allah bukanlah theokrasi. Tapi – meski berbentuk republik, bahkan
kerajaan atau kesultanan – tapi sang pemimpin akan terjaga langkah
kepemimpinannya dan dapat dipastikan akan selamat perjalanannya selagi dirinya
terus mengacu pada panduan yang dititahkan Allah. Inilah yang mendorong kita
sebagai bangsa dan negara Indonesia perlu mengadopsi karakter kepemimpinan nubuwwah.
Bukan berlebihan, tapi – insya Allah – Indonesia masih bisa diselamatkan jika
sang pemimpin mendatang mau kembali kepada spirit ilahiyah seperti yang
diteladankan para nabi dahulu.
Sebuah
pertanyaan yang mendasar, siapakah kandidat kemimpin yang berpotensi menjawab
krisis bangsa dan negeri kita saat ini? Pertanyaan ini menjadi krusial untuk
dijawab secara politik sebagai konsekuensi sistem pemilihan umum kepresidenan
pada 7 April 2019. Sejalan dengan jumlah kandidat kepresidenan mendatang
hanyalah Joko Widodo-Ma`ruf Amin dan
Prabowo-Sandi, maka – jika kita analisis secara komparatif dari dua
pasang kandidat, apalagi jika kita review track record kedua pasangan
itu, maka Probowo-Sandi itulah yang – insya Allah – akan mampu menjawab
sekaligus mengatasi persoalan bangsa-negara Indonesia saat ini. Kenapa? Karena
– dalam diri pasangan kandidat ini – terdapat jiwa dan karakter kuat yang siap
“membumikan” spirit nubuwwah. Setidaknya, itu akan nampak jelas pada
integritas keamanahan, jujur, kapabilitas yang telah teruji karena
kecerdasannya, patirotis dan – insya Allah – menjunjunjung tinggi transparansi,
refleksi dari sikat tabligh.
Jakarta, 14 Oktober 2018
Penulis: Perindu Masa
Depan Indonesia Berdaulat
0 Komentar