JAKARTA,KORANTRANSAKSI.Com
-
Peraturan Pemerintah (PP) No 43 Tahun 2018 yang memberi imbalan dana sebesar Rp
200 juta bagi pihak-pihak yang melaporkan tindak pidana korupsi, diminta
dicabut. Selain hanya sebagai pengalihan isu pemerintah tidak dapat menjalankan
tugas pemberantasan korupsi, PP ini juga membuka peluang bagi aktivis anti
korupsi untuk melakukan pemerasan.
“Sebagaimana diketahui,
kemarin Pemerintah meluncurkan beleid pemberian imbalan sebesar Rp 200 juta
bagi pelapor tindak korupsi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2018.
MAKI menolak adanya PP tersebut dan meminta dicabut,” kata Koordinator
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) di Jakarta, Rabu (9/10/18).
Menurut dia, kebijakan
pemerintah memberi imbalan terhadap pelapor tindak pidana korupsi (tipikor) itu
juga akan membuka peluang tindak pemerasan dan sekalagis menurunkan daya juang
relawan yang bersifat volunter (relawan).
“Disisi lain imbalan
tersebut akan memberikan peluan oknum aktivis menjadi pemeras (blackmail)
karena adanya rangsangan imbalan sebagaimana terjadi dalam cerita film koboi.
Pasal 165 KUHP menegaskan setiap warga negara untuk berkewajiban untuk
melaporkan setiap kejahatan yg diketahuinya,” jelas Boyamin.
Karena itu, pihaknya
menyatakan pemerintah gagal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
(tipikor). Karena itu MAKI menolak dan meminta Peraturan Pemerintah (PP) No 43
Tahun 2018 yang memberi imbalan dana sebesar Rp 200 juta bagi pihak-pihak yang
melaporkan tindak pidana korupsi, dicabut. Pasalnya PP ini hanya sebagai
pengalihan isu dari kegagalan tersebut.
“Pemerintah seharusnya
lebih mementingkan peningkatan kualitas aparat penegak hukum yang masih gagal
dan belum mampu meningkatkan indeks pemberantasan korupsi karena masih dibawah
angka 4. Kami khawatir isu imbalan (PP 43/2018) ini hanya dipakai untuk
menutupi kegagalan pemerintah dalam memberantas korupsi,” ujarnya.
Alasan lain selain
pengalihan isu kegagalan pemerintah dalam tugas pemberantasan tipikor melalui
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni mengacu pada kondisi keuangan negara
dan agak ironis PP ini juga membuka peluang bagi para aktivis untuk melakukan
tindak pemerasan.
Padahal, kata Boyamin,
kondisi keuangan negara saat ini terus menerus mengalami defisit anggaran yang
justru menjadi beban berat untuk sebuah negara seperti Indonesia. “Negara masih
membutuhkan biaya untuk pembangunan yang lebih penting. Selain itu, nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS yang mengalami keterpurukan sementara dolar AS semakin
naik terhadap rupiah sehingga penerbitan PP tersebut belum pas waktunya dan
berimplikasi akan menambah beban keuangan negara,” ujarnya.
Itu sebabnya, kata dia
alasan pemerintah memberi imbalan bagi pelapor tipikor tersebut tidak dapat
diterima dan seharusnya pemerintah lebih melihat kualitas aparat terkait dalam
pemberantasan korupsi. Hal itu, supaya pemerintah bisa melakukan tugasnya yang
hingga sekarang masih gagal dalam tugasnya bukan malah menerbitkan PP pemberian
imbalan bagi pelapor tipikor dan mencabut PP tersebut.
“Pemerintah seharusnya
mencabut PP No 43/2018 yang memberi imbalan bagi pelapor tindak pidana korupsi
tersebut,” tegasnya.
0 Komentar