Jakarta,
KORANTRANSAKSI.Com - Kinerja perdagangan Indonesia sepanjang
2018 dinilai masih tumbuh positif dan memiliki potensi besar ke depannya meski
mencatat defisit. Sejumlah misi dagang dan perjanjian dagang yang dilakukan
Kementerian Perdagangan (Kemendag) dinilai cukup sukses mendongkrak kinerja
ekspor non migas dan menahan defisit perdagangan lebih besar.
“Perjanjian-perjanjian
dagang itu kan meminimalkan ketidakpastian pasar. Walaupun memang untungnya
tidak banyak, tetapi lebih terjamin pembelinya,” ungkap Guru Besar Universitas
Brawijaya Candra Fajri Ananda
Perjanjian dagang dan
misi dagang yang lumayan banyak dilakukan pada tahun 2018, menumbuhkan harapan
akan lebih terjaminnya tingkat ekspor beberapa komoditas andalan Indonesia ke
depan.
“Memang tidak semua.
Tapi yang penting-penting setidaknya. Kayak perjanjian dagang itu kan ibarat
kayak mereka mau beli punya kita, kita juga beli punya mereka. Lebih pasti,”
dia menambahkan.
Di sepanjang tahun
lalu, tercatat sebanyak 8 perjanjian dagang telah teratifikasi. Menyusul dua
perjanjian yang tengah dalam proses ratifikasi, yaitu Indonesia-Chile CEPA dan
ASEAN-Hong Kong FTA and Investment Agreement.
Kemendag juga diketahui
telah melakukan penandatanganan 4 perjanjian dagang kawasan. Yakni 10th ASEAN
Framework Agreement on Services, First Protocol to Amend ATIGA, ASEAN Agreement
on Electronic Commerce, dan Indonesia-EFTA CEP Berbagai perjanjian dagang ini
diperkirakan meningkatkan ekspor hingga US$1,9 miliar.
Pada tahun lalu,
Kemendag sudah melakukan misi dagang di 13 negara, yang sebagian besar adalah
pasar nontradisional. Dalam misi tersebut, transaksi yang dihasilkan mencapai
USD 14,79 miliar. Jumlah ini tumbuh 310 persen dibandingkan transaksi misi
dagang 2017 sebesar USD 3,6 miliar.
Hanya saja memang,
menurut Candra, perjanjian maupun misi dagang tak bisa secara langsung secara
instan menguatkan neraca perdagangan nusantara. Pasalnya beberapa harga
komoditi dunia yang menjadi dagangan utama Indonesia, seperti minyak sawit dan
batu bara, mengalami penurunan harga.
Di sisi lain,
lanjutnya, konsumsi migas Indonesia yang kian membesar dan tidak diimbangi
dengan produksi membuat defisit neraca perdagangan pada tahun kemarin
membengkak. Tercatat di sepanjang Januari—November 2018 saja, total defisit
perdagangan dari sektor migas mencapai USD 12,15 miliar.
Besarnya defisit ini
disebabkan meningkatkan impor migas pada periode yang sama. Perlu diketahui,
sampai November kemarin total nilai impor migas Indonesia mencapai USD 27,81
miliar, naik USD 6,06 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
“Jadi kalau dilihat
memang migasnya ini ya. Nonmigas sudah cukup bagus, cuma memang masih perlu
peningkatan,” tutur dia.
Neraca perdagangan nonmigas
sendiri sebenarnya masih mencatatkan surplus. Setidaknya dari Januari—November
2018, neraca perdagangan sektor ini positif USD 4,64 miliar. Ekspor non migas
secara total tercatat sebesar USD 150,15 miliar di 2018, naik 7,46 persen
dibanding 2017 yang tercatat sebesar USD 139,72 miliar.
Senada, Ekonom dari
Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, sejauh ini sektor
migaslah yang menjadi penyebab neraca perdagangan Indonesia terpuruk di
sepanjang 2018 kemarin.
Tinggginya defisit ini
disebabkan menurunnya ekspor migas dan naiknya impor migas. Sebaliknya,
nonmigas masih membukukan neraca positif.
“Masih ada surplus di
untuk neraca perdagangan nonmigas pada 2018. Jadi, memang di bagian migas kita
yang parah. Ekspor turun, ditambah impor migas kita naik. Tapi kalau
dibandingkan di 2017 surplus untuk nonmigas pasti lebih besar,” ujarnya.
Menurutnya, terdapat
dua faktor yang menyebabkan tekanan pada ekspor nonmigas pada 2018. Pertama,
penurunan harga komoditas unggulan baik batu bara, crude palm oil (CPO), maupun
karet. Sementara, 70 persen ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas
berbasis sumber daya alam. (TIM)
0 Komentar