Ketika saya ke Irak
untuk kedua kalinya pada bulan September 2014 (pertama ke Irak, Desember 1992),
saya menyaksikan di Padang Karbala, Irak, seorang lelaki Muslim Syiah diiringi
oleh beberapa perempuan. Saya bertanya ke sekitar, siapa perempuan itu. Mereka
adalah isteri-isteri laki-laki tersebut.
Sudah tentu ingatan ini
menginspirasi saya untuk mengatakan, ketika kita dalam minggu ini disibukkan
oleh masalah poligami, di negara Irak, Iran atau di negara Timur Tengah
lainnya, hal poligami sudah biasa kita dengar. Bahkan di Irak, semasa Presiden
Irak Saddam Hussein berkuasa, siapa saja yang bersedia menikahi janda-janda
akan diberi sejumlah uang tidak sedikit sebagai hadiah.
Saddam Hussein sejauh ini
kita kenal sebagai menganut agama Islam Sunni. Alasan Saddam Hussein memberi
hadiah sebagai ucapan terima kasih, karena perempuan-perempuan yang
ditinggalkan suaminya, di mana tewas dalam pertempuran Irak-Iran selama delapan
tahun tertolong. Ini sebuah prestise untuk Saddam Hussein yang selalu
memikirkan rakyatnya, terutama janda-janda yang ditinggalkan suaminya dalam
melawan pasukan Iran dalam Perang Irak-Iran selama delapan tahun tersebut.
Baru-baru ini, kita
baru saja mendengar tentang hukum perkawiban di Aceh, di mana Rancangan
Undang-Undangan Perkawinan secara Islam sedang diperdebatkan. Intinya seorang
laki-laki boleh menikah lebih dari satu istri, karena banyak para janda
ditinggalkan keluarganya akibat bencana alam.
Aceh dianggap sebagai
tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting
dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh
adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah
Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang
asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika
dibandingkan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat
konservatif (menjunjung tinggi nilai agama).
Persentase penduduk
Muslim Aceh adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai syariah
Islam. Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki
otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.
Aceh memiliki sumber
daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah analis
memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia. Aceh juga terkenal dengan hutannya yang
terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara
sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional
Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.
Aceh adalah daratan
yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi Samudra Hindia 2004. Setelah
gempa, gelombang tsunami menerjang sebagian besar pesisir barat provinsi ini.
Sekitar 170.000 orang tewas atau hilang akibat bencana tersebut. Bencana ini
juga mendorong terciptanya perjanjian damai antara pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Sebelum GAM bergabung
dengan Negara Kesatuan RI, mereka juga mengangkat senjata melawan pemerintah
RI. Ini juga menjadi masalah utama, di mana jumlah para janda di Aceh begitu banyak. Latar
belakang pemikiran untuk membantu para janda di Aceh yang melatar belakangi kenapan rancangan qanun (Perda) Aceh yang
mengatur soal poligami menuai pro dan kontra. Ada pihak yang menilai qanun
poligami perlu didukung asalkan dimasukkan syarat soal berlaku adil. Namun, di
satu sisi ada pula yang menilai qanun ini justru seolah-olah membuat poligami
sebagai gaya hidup.
Pemerintah provinsi dan
DPR Aceh sedang membahas qanun tentang hukum keluarga yang salah satu isinya
mengatur soal praktik poligami. Alasan qanun itu dibuat adalah maraknya nikah
siri yang terjadi pada pasangan poligami.
0 Komentar