Ketua Ombudsman, Mokhammad Najih (Foto:dok) |
Ketua Ombudsman
Mokhammad Najih mengatakan bahwa, "Masalah yang akan bisa dilaporkan oleh
Keasistenan Utama Satu ini berkaitan dengan rapid assessment terhadap
kebijakan-kebijakan di bidang administrasi kependudukan. Terutama berkaitan
dengan warga negara asing dan juga kewarganegaraan yang dilaksanakan baik itu
oleh Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan dan juga oleh Dirjen
Keimigrasian”, ucapnya.
Najih juga menjelaskan
jika, setiap status kependudukan dan kewarganegaraan akan berimplikasi pada
pemenuhan hak dan kewajiban yang melekat pada setiap individu. Misalnya
seseorang tidak diperbolehkan menurut undang-undang untuk menjadi mengisi
jabatan-jabatan publik tertentu, seperti kepala daerah dan atau pejabat publik
lainnya termasuk pelaksanaan hak politik maupun hak sipil yang lain, apabila
status kewarganegaraannya bermasalah atau masih berstatus bukan warga negara.
Ia mengatakan Ombudsman
menerima sejumlah laporan masyarakat dan memantau dari pemberitaan media yang
melatarbelakangi kajian ini. Diantaranya kasus pemalsuan dokumen kependudukan
berupa KK dan KTP oleh WNA Belanda di Ambon, pelantikan Arcandra Tahar sebagai
Menteri ESDM pada 2016 yang diketahui memiliki 2 paspor, yakni paspor AS dan
Indonesia, kasus Orient P. Riwu Kore yang terpilih menjadi Bupati Sabu Raijua
yang memiliki kewarganegaraan AS, serta kasus 2 WNA memiliki KTP di Bali pada
Februari 2023. Berkacara dari kasus-kasus tersebut, Ombudsman meminta agar
tidak terulang kembali.
"Seperti yang
pernah kita alami beberapa waktu yang lalu misalnya dalam kasus seorang warga
negara yang awalnya diduga merupakan Warga Negara Indonesia diangkat menjadi
pejabat publik, misalnya dalam kasus bapak Arcandra Tahar, juga ada kasus
seorang warga negara asing mengikuti proses Pilkada dan terpilih menjadi Bupati
misalkan dalam kasus Orient Patriot Riwu Kore di Papua di mana yang
bersangkutan diketahui masih memiliki status kewarganegaraan asing. Ini sebuah
peristiwa pengalaman yang perlu dicatat dan jangan sampai ini kemudian terulang
Kembali”, ucap Najih.
Oleh karena itu, Ombudsman meminta agar perlunya sinkronisasi atau integrasi data antara data Imigrasi dan Administrasi Kependudukan. Hal itu agar tidak ada lagi kasus yang dapat merugikan. "Ini memang betapa perlu sinkronisasi data, harmonisasi data antara Imigrasi dan Administrasi Kependudukan kita. Karena di sisi-sisi yang lain banyak wilayah kita ini masih bisa ditembus oleh orang-orang asing untuk mendapatkan keterangan-keterangan kependudukan yang sangat... yang tentu ini sangat merugikan," kata Najih.
Salah satu temuan
Ombudsman misalnya terkait penerbitan izin Tinggal Terbatas dan izin Tinggal
Tetap (KITAS). Najih mencontohkan kasus penerbitan KITAS warga Rusia tetapi
dapat menjalankan usaha di Bali.
"Beberapa waktu
yang lalu juga ada masyarakat melapor ke Ombudsman di Bali tentang KITAS di
surat izin tinggal terbatas orang-orang Rusia, tapi mereka bisa menjalankan
usaha. Ini juga kadang meresahkan bagi warga negara kita di mana orang asing
kemudian bertindak seenaknya seolah-olah mereka telah menjadi bagian dari warga
negara, sementara sesungguhnya mereka belum melakukan proses naturalisasi atau
permohonan pindah warga negara bahkan atau syarat-syarat yang mesti
diperlukan," katanya.
"Ini memang sangat
penting untuk kemudian dilakukan harmonisasi sinkronisasi kerjasama antar
kelembagaan. Jadi beberapa masalah tentang status kependudukan dan
Kewarganegaraan di atas kemudian mendorong Ombudsman untuk melakukan rapid
assessment atau kajian tentang integrasi data administrasi kependudukan bagi
orang asing dan status kewarganegaraan, untuk melacak, untuk melihat di mana
letak terjadinya potensi potensi maladministrasi yang itu kemudian bisa
merugikan bagi kita sebagai negara, dan bagaimana upaya-upaya kita agar bisa
mencegah," katanya.
Adapun hasil temuan
Ombudsman juga disampaikan oleh anggota Ombudsman Republik Indonesia Jemsly
Hutabarat. Dalam temuan pertama tentang administrasi dokumen keimigrasian orang
asing, terkait penerbitan Izin Tinggal Terbatas dan Izin Tinggal Tetap.
Ombudsman menyebut mayoritas pelayanan dilakukan secara langsung di kantor
Imigrasi, ia menyarankan agar perlunya pelayanan secara online.
"Kedua, penerbitan
surat keterangan keimigrasian, ini pun pelayanan ini masih langsung di kantor
Imigrasi. Ketiga, kantor imigrasi yang kita kunjungi belum pernah menerima
permohonan validasi dan memastikan keabsahan dokumen tersebut," kata
Jemsly.
Selain itu temuan lain terkait penerbitan surat pencabutan dokumen keimigrasian, Ombudsman menemukan temuan bahwa tidak semua pemohon melaksanakan kewajiban untuk menyerahkan dokumen atau surat keimigrasian atas namanya, sementara kantor Imigrasi tidak mengetahui secara otomatis apabila terdapat orang asing yang telah memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui pewarganegaraan. Temuan lainnya, Ombudsman menemukan WNI yang sudah kehilangan kewarganegaraan di Indonesia tetapi tidak melaporkan ke kantor Imigrasi masih dianggap yang bersangkutan masih terdata sebagai WNI.
"Karena masalahnya
laporan tersebut tidak otomatis, yang seharusnya yang bersangkutan waktu dia
mendapatkan kewarganegaraan negara asing, melepaskan kewarganegaraan Indonesia
seharusnya sudah valid dan langsung divalidasi," ujar Jemsly.
Ombudsman menilai masih
terdapat WNI yang telah kehilangan status kewarganegaraannya tidak melapor ke
Dinas Dukcapil sehingga yang bersangkutan masih terdata sebagai WNI dalam
sistem SIAK dan masih memegang KTP yang dimilikinya. Serta belum ada mekanisme
yang mendorong WNI yang kehilangan status kewarganegaraan untuk melaporkan diri
kepada Dinas Dukcapil.
Lebih lanjut, Ombudsman juga mencatat temuan pada mekanisme pencatatan Administrasi Kependudukan bagi orang asing yang tinggal di Indonesia. Berdasarkan temuan Ombudsman, petugas Dinas Kependudukan melakukan beberapa metode verifikasi dan validasi data yang berbeda-beda, sehingga hasil verifikasinya dapat berbeda-beda. Selain itu, Ombudsman menemukan belum adanya integrasi data pencatatan orang asing di Indonesia antara kantor Imigrasi dengan Dinas Dukcapil terkait pelayanan penerbitan dokumen keimigrasian dan dokumen kependudukan.
"Dari data kita di
lapangan hampir seluruh kantor Imigrasi yang dikunjungi oleh Ombudsman belum
memiliki integrasi data antara kantor Imigrasi dengan Dukcapil. Tidak adanya
integrasi data antara kedua instansi berdampak pada perbedaan jumlah data orang
asing pemegang data ITAS yang dimiliki kantor Imigrasi dengan jumlah data yang
ada pada Dukcapil. Secara menyeluruh memang ada perbedaan dan ada beberapa
temuan, tetapi ada pada kantor tertentu yang sudah memiliki aplikasi
sendiri," katanya.
Ombudsman juga berharap
selain integrasi data, data NIK juga terintegrasi di kantor Imigrasi. Selain
itu hingga saat ini belum terbangun integrasi data sehingga setiap proses
verifikasi dokumen yang diterbitkan instansi Dukcapil dan Imigrasi masih
dilakukan secara manual dan lama, terkait orang asing yang memperoleh status
kewarganegaraan Indonesia melalui Pewarganegaraan. (OD/RED)
0 Komentar