Menteri ESDM Arifin Tasrif Saat Lakukan Pengecekan pasokan di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina Intergrated Terminal di Surabaya (Foto:dok) |
"Kemarin sudah
kita bahas di rapat, jadi kita masih nahan sampai Juni kita upayakan dengan
stok yang ada. Nah selesai Juni memang harus ada (evaluasi). Kalau ini tidak
berkesudahan konflik kan harus ada langkah yang pas," ujar Arifin.
Namun, Arifin belum
bisa memastikan apakah penyesuaiannya nanti berlaku untuk BBM nonsubsidi dan
BBM subsidi, dan apakah harganya akan naik atau turun. Hal tersebut
menyesuaikan dengan perkembangan konflik geopolitik dan harga minyak mentah.
Kenaikan harga minyak mentah disebabkan disrupsi logistik di kawasan konflik, terutama di Selat Hormuz dan Terusan Suez. Indonesia harus mencari alternatif sumber lain yang tidak melewati kawasan tersebut, yang juga akan berimbas pada kenaikan biaya logistik. Arifin mengungkapkan sumber alternatif impor LPG selain dari Timur Tengah yakni Benua Amerika dan Australia yang distribusinya tidak melalui wilayah konflik, dalam hal ini Selat Hormuz dan Terusan Suez.
Sementara untuk alternatif sumber minyak mentah, Arifin mengungkapkan ada potensi dari Benua Afrika dan Amerika Latin selain Venezuela. Pasalnya, Venezuela masih terkena sanksi embargo dari AS. "Geopolitik ini serius. (Konflik) Ukraina belum selesai sudah timbul di Middle East, tensi di Asia-Pasifik juga harus diantisipasi karena AS sudah kirim ke pangkalan-pangkalan di Pasifik ini misil-misil, pasti ada responsnya, jadi kita jangan ada berharap ada konflik di wilayah ini," jelas Arifin.
Di sisi lain, kata
Arifin, pemerintah juga akan mempercepat penyelesaian revisi Peraturan Presiden
(Perpres) No 191 Tahun 2014 untuk membatasi konsumen dan volume penyaluran BBM
bersubsidi untuk mengurangi beban keuangan negara akibat subsidi BBM yang tidak
tepat sasaran di tengah naiknya harga minyak.
"Ya kita bahas
dulu dan lihat perkembangannya. Sebelum Juni harusnya ada bahasan kalau memang
lihat perkembangan situasi makin tidak favorable," ungkap
Arifin."Lonjakan minyak tinggi pasti (pemerintah) nombok. Perpres itu kan
mengurangi (subsidi), itu sudah ada hitungannya, kalau tahun ini diberlakukan
itu akan menghemat. Tapi ya kalau dibandingkan minyaknya segini kita masih
gendong," tambahnya. (TIM)
0 Komentar