Salah Satu Anggota Ombudsman, Johanes Widijantoro saat menyampaikan penjelasan terkait dengan hasil kajian Ombudsman mengenai pencegahan TPPO (Foto:dok) |
Anggota Ombudsman
Johanes Widijantoro mengungkapkan dalam kajian sistemik Ombudsman terkait
pelaksanaan pencegahan TPPO, terdapat temuan masih banyaknya korban yang bisa
dicegah keberangkatannya melalui proses pengawasan keimigrasian.
"Hal ini
menggambarkan masih perlu dilakukan penguatan dalam proses pengawasan
keimigrasian, khususnya proses verifikasi dan wawancara, serta pemeriksaan di
Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI)," ujar Johanes.
Lebih lanjut Johanes
mengungkapkan, terdapat permasalahan berupa mudahnya praktik pemalsuan
identitas dan dokumen calon pekerja migran atau warga Indonesia lainnya yang
berpotensi TPPO, meskipun sudah diberlakukan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
elektronik.
Ia mengatakan
berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa korban TPPO, saat para korban akan
berangkat ke negara penempatan, mereka tidak pernah terlibat dan tidak mengurus
sendiri dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk ke luar negeri karena semua
dokumen, termasuk paspor, diurus oleh agen yang merekrut.
Maka dari itu,
Ombudsman meminta Kementerian Imipas bisa memaksimalkan Sistem Informasi
Manajemen Keimigrasian yang memuat daftar warga negara Indonesia dan pekerja
migran Indonesia nonprosedural yang pernah masuk daftar pencegahan.
Johanes menambahkan
Kementerian Imipas juga harus meningkatkan pengawasan internal kepada pegawai
kantor imigrasi guna mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam
pemeriksaan dokumen keimigrasian maupun pemeriksaan di TPI, khususnya di
wilayah kantong PMI.
"Ombudsman meminta
saran perbaikan dalam hasil kajian ini dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya
sebagai bentuk pelayanan publik kepada masyarakat yang profesional,
berkeadilan, dan berkepastian hukum," tuturnya.
Berbagai temuan terkait keimigrasian tersebut tercatat dalam aspek pengawasan yang ditemukan dalam kajian pencegahan TPPO. Selain aspek pengawasan, Ombudsman turut menyoroti aspek sosialisasi dan edukasi, peningkatan koordinasi dan kerja sama, serta regulasi dalam upaya pencegahan TPPO. Pada aspek sosialisasi dan edukasi, sambung dia, terdapat temuan belum semua daerah memiliki Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Penanganan TPPO.
Tidak adanya anggaran
yang dimiliki oleh daerah untuk Gugus Tugas TPPO, khususnya anggaran terkait
kegiatan sosialisasi, belum seragamnya kelompok sasaran sosialisasi TPPO karena
belum adanya perencanaan rinci dalam RAD TPPO, dan kurangnya koordinasi
antarorganisasi perangkat daerah (OPD).
Mengenai kerja sama dan
koordinasi pencegahan TPPO, Ombudsman menemukan masih adanya gugus tugas daerah
yang belum melakukan restrukturisasi gugus tugas setelah diubahnya ketua
harian, yang semula Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(PPPA), menjadi Kapolri.
Ombudsman, menurut dia,
juga menyoroti belum terlaksananya sinergi antara pemerintah daerah dengan
lembaga penegak hukum dalam melakukan upaya pencegahan TPPO. Sementara terkait
regulasi, Johanes mengatakan secara konseptual, regulasi mengenai pencegahan
TPPO bertujuan untuk memastikan arah kebijakan pemerintah dalam memutus rantai
TPPO.
Namun, lanjut dia,
pengaturan dan kebijakan yang ada saat ini masih belum mampu menekan kasus TPPO
karena keberadaan gugus tugas dalam bentuk lembaga koordinatif tidak cukup
efektif untuk memberantas atau setidaknya meminimalisir terjadinya kasus
perdagangan orang yang terjadi di Indonesia. (TIM)
0 Komentar