(Foto:Ilustri Uang Rupiah) |
Ketua Komite Analisis Kebijakan Ekonomi Bidang Perbankan dan Jasa Keuangan Apindo Aviliani mengatakan, pergerakan rupiah masih bergantung pada portofolio asing. Seperti ketika ada yield yang menarik di Amerika Serikat dan ada insentif yang menarik di sana. “Cenderung mereka akan, sepertinya dolar pulang kampung gitu ya, sehingga biasanya rupiah cenderung lemah,” ujar Aviliani di Kantor Apindo Jakarta, Kamis (19/12).
Aviliani mengatakan,
Bank Indonesia (BI) telah berupaya menstabilkan keadaan tersebut dengan DHE dan
SRBI. Meski demikian, ia menilai nilai DHE masih terbilang rendah jika
dibandingkan dengan nilai impor.
“Karena itu ke depan,
bisnis-bisnis yang mulai harus dikembangkan oleh pemerintah dengan insentifnya
dan segala macam kebijakan-kebijakannya itu harus yang berbasis pada ekspor.
Ekspor, kita bicaranya jangan di hilirisasi saja, tapi juga hulu. Nah kita
sering kali melupakan hulunya,” jelas Aviliani.
Hal tersebut berdampak pada industri, di mana impornya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasilnya. Sehingga nilai tambah yang diciptakan dari industri itu terlalu rendah. “Akibatnya apa? Akibatnya nilai tambah yang kita peroleh dari devisa jadi rendah. Nah itu yang harus dipikirkan oleh pemerintah ke depan adalah terkait dengan orientasi ekspor,” kata Aviliani.
“Nah oleh karena itu,
menurut saya Departemen Perindustrian sudah mulai harus mengetahui mana sih
yang nilai tambahnya itu tinggi, kemudian insentifnya juga perlu disiapkan,”
ungkapnya.
Menurut Aviliani,
kondisi anjloknya rupiah ini akan berdampak pada bisnis yang berorientasi
impor. Sebab, ketika rupiah sedang melemah, impornya menjadi lebih mahal. Oleh
sebab itu, tidak menutup kemungkinan perusahaan tersebut juga melakukan
efisiensi agar tetap bisa bertahan. Salah satunya dengan melakukan PHK.
“Nah efisiensi ini yang
biasanya akibatnya ke PHK, kemudian efisiensi ini juga akibatnya ke berbagai
hal yang supaya mereka tetap bisa survive,” kata Aviliani. (RED)
0 Komentar